Saya jadi ingat betapa saya membenci semua hal yang berbau
adat dan budaya. Bagi saya, kita semua adalah satu. Suku Jawa, Batak, Bali,
Madura, Dayak. Sampai-sampai di hari pernikahan saya pun, saya dan suami
bersepakat untuk meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara
adat. Perlu diketahui, saya adalah orang Jawa tulen dan suami saya berdarah
Batak dan Jawa. Meskipun dominan sekali Bataknya.
Saya dibesarkan di keluarga yang sungguh demokratis. Saya
disekolahkan di sekolah swasta, dari mulai TK sampai SMU. Di Surabaya,
sekolah-sekolah swasta biasanya didominasi oleh siswa beretnis Tionghoa. Jadi
memang di lingkungan sekolah yang bisa dibilang minim sekali jumlah siswa pribuminya
ini, saya dan adik saya menghabiskan masa kecil hingga remaja kami. Otomatis
kami pun tidak pernah mengkotak-kotakkan diri kami dari teman-teman di sekolah.
Bagi saya pribadi, Jawa atau Cina, Katolik atau Muslim, kita semua dilahirkan
sama. Inilah yang selalu ditanamkan oleh orang tua saya. Maka ketika kami
anak-anaknya mulai dewasa, mereka memberi kebebasan penuh kepada kami untuk
memilih pasangan. Kami berdua pun akhirnya menikah dengan pasangan dari suku
yang berbeda.
Di Surabaya, saya merasa orang sepertinya cenderung untuk
hidup berkelompok, sesuai dengan suku/etnisnya, ataupun agamanya. Berbeda
sekali dengan kehidupan bermasyarakat di Jakarta. Inilah yang membuat saya
begitu mencintai kota Jakarta ini. Saya bisa bertemu manusia dari belahan
nusantara manapun. Orang dari suku
Minang, Sunda, Batak, Madura, Bali. Semuanya tumplek blek di kota metropolitan
ini.
Saya sempat menghabiskan hidup saya di New Zealand selama 6
tahun dan hal yang sama saya alami di kota Auckland. Auckland adalah Jakartanya
New Zealand. Di sanalah pusat hiburan dan ekonomi berada. Bedanya hanya di
skalanya. Bila di Jakarta, kita bisa bertemu manusia dari bermacam-macam suku
dan mungkin negara (meskipun tidak terlalu besar chancenya), tetapi di Auckland
saya bergaul dengan manusia dari beragam bangsa. Saya sungguh menikmati
keberagaman ini. Dan mungkin inilah yang mendorong saya untuk menikahi seorang
yang sangat berbeda latar belakang dengan diri saya.
Saya dan suami adalah dua pribadi yang sungguh berbeda dari
segi apapun. Suku. Ini jelas. Usia kami pun berbeda 6 tahun. Hobi. Saya cinta
buku sedangkan dia alergi buku. Karakter. Saya ekspresif dan extrovert. Dia
lebih datar dan introvert.
Latar belakang dan karakter keluarga lah yang mungkin membuat kami memiliki
sifat yang jauh berbeda. Tapi, hey, kami tidak menjadikan perbedaan itu sebagai
hal tabu, hal yang harus dihindari. Bagi kami justru perbedaan inilah yang bisa
menjadikan hidup kami lebih berwarna. Perbedaan lah yang menyatukan hati kami. He
completes me, his way of loving me says it all.