Translate

1 Mar 2013

Pendidikan Anak Usia Dini Komunitas Menara

Jarum jam sudah bergerak perlahan menjauhi angka delapan. Sekolah sederhana bercat hijau yang dipenuhi dengan gambar-gambar tokoh kesayangan anak-anak itu pun tampak sepi dan tenang. Hanya terdengar sayup-sayup suara seorang bapak yang sedang berbicara di sebuah ruangan mungil berukuran 3.5 x 5 meter yang berwarna ungu terang itu.

Antara bingung, gugup dan ragu, saya berjalan ke arah ruangan di sebelahnya yang tampak seperti mati suri. Saya saat itu hanya berpikir untuk mencari informasi tentang Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ini. Hanya sekedar menggali tentang visi dan misi mereka, jumlah siswa juga aktivitas mereka selama ini. Dan terbukti bahwa saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Sesaat setelah saya memperhatikan anak-anak kecil itu bermain dan bercanda dengan teman-temannya, juga melihat para guru yang teramat telaten mengajari mereka, saya langsung memutuskan untuk menjadi tenaga pengajar sukarela di sana.

Ya, sudah tiga minggu terakhir, saya memutuskan untuk mulai terlibat langsung dalam aktivitas baru ini. Aktivitas di mana saya bisa menjadi bagian dari masyarakat yang "terpinggirkan". Mereka yang seolah-olah dipandang sebagai, maaf, penduduk kelas dua, ternyata memberikan sesuatu yang berharga untuk saya renungkan dan pelajari.

Nama sekolah ini adalah PAUD Komunitas Menara. Para pecinta buku pasti sudah tak asing lagi dengan nama "Komunitas Menara" ini. Benar. Sekolah ini didirikan oleh Ahmad Fuadi, seorang penulis buku bestseller "Negeri 5 Menara", yang terkenal dengan slogannya Man Jadda Wajada.

27 Feb 2013

Kelas Pertama Saya Mengajar


Beberapa hari sebelum hari pertama saya mengajar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Komunitas Menara, berjam-jam saya habiskan waktu di depan komputer "hanya" untuk mencari tahu materi pelajaran dasar yang bisa saya sampaikan di hari itu. Dan terbukti bahwa kurikulum pendidikan PAUD ini sepertinya belum diatur secara terperinci. Atau mungkin memang tidak sedetil itu instansi terkait membahas materi-materi pengajaran. Entahlah. Saya juga kurang tahu karena tidak adanya pengalaman saya menjadi pengajar. 

Setelah mendapatkan sedikit pencerahan dari hasil mengubek-ubek internet, saya mulai melakukan brainstorming materi untuk anak usia tiga hingga enam tahun. Kemudian saya mulai mencari topik untuk saya ajarkan di hari pertama. Saya berencana untuk mengajar Bahasa Inggris dasar. Belajar mengenal jenis pekerjaan dalam Bahasa Inggris. Itulah yang rencananya akan saya ajarkan di hari pertama.

Kenyataan memang tidak selalu seindah bayangan. Setelah melakukan sedikit perkenalan dengan para siswa di hari pertama itu, saya mulai mengajukan pertanyaan seperti, "Ada yang tahu tidak jenis-jenis pekerjaan di sekitar kita?" Semua anak berebut ingin menjawab. "Apa yang petani kerjakan?". Seperti itulah kira-kira sesi tanya jawab kami. Setelah itu saya pun mulai menerjemahkan profesi yang kami bahas tersebut ke dalam Bahasa Inggris. Melafalkan, kemudian menuliskannya di papan tulis. Begitu seterusnya hingga profesi yang keempat. Dan anak-anak ini sudah mulai kehilangan konsentrasinya. Beberapa asyik ngobrol, ada juga yang sibuk menjahili temannya.

Saya sudah hampir kehilangan semangat ketika salah satu guru, Pak Sinwani, mulai mengambil alih tempat saya. Beliau ini kemudian mengulang kata-kata yang saya sudah tulis dalam Bahasa Inggris untuk anak-anak tirukan. Setelah itu, sebagian dari mereka diminta maju ke depan untuk berpura-pura menjadi guru dan melafalkan kata-kata tadi persis seperti apa yang telah Pak Sinwani lakukan sebelumnya.

Sungguh di luar dugaan saya. Mengajar anak-anak usia dini ini bisa menjadi sesuatu yang teramat menantang karena saya baru sadar bahwa kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada satu hal -yang menurut mereka bisa jadi membosankan- belum sebaik anak-anak yang berumur sepuluh tahun, misalnya.

24 Feb 2013

Semu

Hari itu dimulai dengan kejadian yang sungguh tak biasa. Kejadian yang sebenarnya hanya ada di alam mimpi. Mengingat saat ini Senja telah bersuami dan tinggal jauh dari kota kelahirannya. Bukan, itu bukan mimpi biasa. Mimpi aneh yang secara rutin mengunjunginya. Tidak sesering jadwalnya pergi ke pasar, tidak serutin ia membersihkan taman di belakang rumahnya, tidak juga selazim nenek-nenek yang gemar memakan sirih.

Laki-laki itu, laki-laki yang ia kenal semenjak ia masih bersekolah. Mereka memang tidak pernah melakukan proses perkenalan secara resmi. Entah kenapa. Ia sendiri tidak pernah tahu itu. Tahu-tahu di luar kesadaran Senja, ia menjadi tertarik dengan laki-laki pendiam itu. Tenang, tidak banyak bicara, tidak pernah terlibat dalam kebandelan remaja apapun. Semuanya tentang laki-laki itu terkesan biasa saja.

Ia masih ingat. Febriani, teman sebangkunya dulu begitu tergila-gila dengan Toni yang memang dikenal ganteng dan sedikit "berani". Berani menentang guru, berani membolos, dan berani-berani yang lain. Kemudian si Ollie, yang begitu mengidolakan murid di seberang kelas yang biarpun tidak seganteng Toni tapi begitu pandai bergaya. Setiap ada acara di sekolah, entah itu bazaar hari jadi sekolah, hingga pesta perpisahan akhir tahun, Ollie bisa dipastikan akan duduk di meja paling ujung sambil berusaha menahan napas setiap laki-laki pujaan hatinya itu lewat di depannya. Sepatunya, kemejanya, semua begitu terlihat serasi. Berbeda sekali dengan lelaki yang Senja kagumi itu. Sederhana. Tak banyak tingkah. Kalem.

Tak banyak informasi yang bisa Senja gali dari teman-teman dekat lelaki itu karena memang ia tidak banyak bercerita tentang dirinya. Satu-satunya hal yang Senja tahu selain nama lelaki itu adalah kecintaannya dengan bola basket. Arga Suryapranata. Begitulah nama lelaki pemalu itu.

Sudah bertahun-tahun lamanya Senja memendam rasa. Hanya buku hariannya lah yang setia menjadi pendengarnya. Dan hanya segelintir manusia yang bisa menyimpan sebuah rahasia sebaik buku harian Senja. Hal inilah yang membuat Senja hanya berani bercerita kepada satu teman baiknya saja.