Translate

5 Sept 2014

Tak Ada Salahnya Melirik ke Belakang



Aku dibesarkan dalam keluarga kecil, yang bisa dibilang bahagia dan hidup dalam kecukupan. Papa adalah seorang dokter yang cukup dikenal di beberapa daerah di Surabaya. Mama adalah mantan sekretaris sebuah perusahaan swasta yang dengan sepenuh hati rela melepas karirnya demi untuk memberikan bimbingan penuh kepadaku dan adik semata wayangku.

Semasa sekolah, aku bisa dibilang murid berprestasi. Selama enam tahun duduk di Sekolah Dasar, aku selalu naik panggung untuk menerima penghargaan sebagai juara tiga besar di setiap akhir tahun ajaran. Bukan hanya itu, aku memiliki karakter yang jauh berbeda dari adik laki-lakiku. Di sekolah, aku dikenal sebagai siswa yang aktif berkegiatan. Aku masuk dalam tim paduan suara selama bertahun-tahun di masa sekolah. Pernah juga belajar bermusik kolintang. Sering juga bertugas saat upacara bendera di sekolah selama beberapa tahun. Tentu saja bukan menjadi Pasukan Pengibar Bendera. Tak apa-apalah. Tinggi tubuh tak akan pernah menjadi penghalang bagiku hehehe.. Aku lebih sering menjadi pembawa acara saat upacara bendera. 

Sepertinya masa-masa aku menjalani masa kecil dan remajaku berjalan sangat mulus. Yah, seperti kereta api berjalan di rel. Ideal. Tak banyak kerikil-kerikil penghalang. Tapi aku punya satu sifat yang boleh dibilang cukup mengganggu. Aku pemalu. Dalam artian aku tak pernah punya cukup keberanian untuk mengemukakan pikiranku. Seakan-akan aku selalu menjadi anak penurut. Tetapi sebenarnya di lubuk hatiku, aku selalu mencoba untuk “melawan” bila ada sesuatu yang bertentangan dengan nuraniku.
 
Sedari kecil, aku selalu merasa berbeda dengan kedua orangtua dan adikku. Mereka semua adalah pribadi yang penuh humor dan juga memiliki pergaulan yang luas.  Aku pun punya banyak teman, tapi aku selalu merasa aku tak se”gaul” mereka. Suatu hari, mama pernah memergokiku berjalan dalam posisi menunduk ketika menyusuri jalan di lingkungan tempat kami tinggal. Aku ditegurnya habis-habisan. Tak hanya itu saja. Dulu aku juga memiliki kebiasaan yang unik, kalau tak bisa dibilang mengganggu. Setiap kali merasa grogi, gugup atau ketika santai sekalipun, aku akan menggerak-gerakkan kakiku ke kanan-kiri atau ke atas-bawah ketika duduk. Gaya tukang jahit begitu papa menyebutnya. Lucunya lagi kebiasaan yang sama juga dilakukan oleh papa, meskipun dengan alasan yang berbeda. Ahh.. memang aku pada dasarnya dilahirkan sebagai sosok pemalu dan penyendiri, meskipun aku dikelilingi sahabat-sahabat yang sudah mengenalku cukup lama. Sedari remaja, aku sudah menyenangi film. Bahkan aku bisa menonton bioskop setiap minggu, ada atau tidak ada teman menonton. Bagiku tak masalah bila aku harus berangkat menonton sendirian, apalagi kalau film yang ditayangkan memainkan Brad Pitt ataupun Leonardo Dicaprio. Hehehe.. Singkat kata aku cukup menikmati masa mudaku, meskipun aku tak seberani teman-temanku yang lain.

Tapi suatu hari, saat aku kelas 3 SMA, papa mengatakan niatnya untuk mengirimku berkuliah di luar negeri. Eitss.. jangan salah biarpun aku merasa diriku pemalu, aku bukanlah gadis penakut. Begitu ada tawaran super menarik ini, tanpa pikir panjang aku mengangguk mengiyakan. Tak disangka impianku sedari SMP, tinggal di negeri orang bisa tercapai secepat ini.

Yang paling mengagumkan lagi, sedari awal aku berangkat ke New Zealand, orangtuaku tak sekalipun mengantarku ataupun menjengukku hingga aku wisuda. Memang ada seorang family friend yang tinggal di sana. Tetapi aku boleh berbangga hati mengatakan bahwa aku bisa mandiri, bukan secara finansial, tetapi lebih kepada kemampuanku untuk bertahan hidup di tengah-tengah lingkungan yang sangat berbeda dari tempat aku dibesarkan.

Sejak awal aku hidup di sebuah keluarga yang memang menyediakan fasilitas homestay untuk siswa-siswa pendatang. Perlu diketahui, negara sekecil New Zealand yang bahkan jumlah dombanya lebih banyak dari jumlah populasi penduduknya sendiri, memiliki sistem pendidikan yang cukup mumpuni untuk menarik mahasiswa-mahasiswa di negara lain  melanjutkan pendidikan mereka. Jadi tak usah dipertanyakan lagi, aku bertemu dan mengenal bermacam-macam manusia dari belahan bumi manapun.

Tak seperti dugaanku, aku begitu menikmati masa-masa hidupku di sana. Aku yang tadinya malu, seakan-akan memiliki sifat yang sangat berbeda begitu “dipaksa” untuk mempertahankan hidup di negeri orang. Aku jadi belajar tentang bagaimana caranya untuk membuka percakapan dengan orang yang baru saja aku temui, belajar tentang bagaimana menjadi pribadi yang menyenangkan, belajar untuk mengatur waktu, belajar untuk menjadi orang yg punctual alias on time, belajar untuk berkomunikasi dengan berbagai macam orang dari segala lapisan, mulai dari teman sebaya hingga dosen bertitel Doktor. Dan sungguh pengalamanku hidup di sana merubahku menjadi seorang Lintang yang sama sekali berbeda. 

Pernah suatu saat, aku harus tinggal di flat, berbagi rumah dengan 4 temanku yang lain, yang notabene bukan orang Indonesia. Di sini aku benar-benar belajar  bahwa tak semua orang punya niat baik. Aku yang sebelumnya adalah aku yang naif, yang selalu berpikiran bahwa pemeran antagonis hanya ada di sinetron-sinetron picisan, dan tak mungkin aku temui di dunia nyata. Ternyata aku SALAH BESAR!! Aku menemui bermacam-macam karakter manusia di sini. Ada yang munafik, ada yang pembohong, ada yang tukang fitnah, ada yang egois, ada yang baik juga tentu saja. Tapi mataku jadi terbuka saat aku dihadapkan dengan kehidupanku yang baru ini. Dan sekali lagi aku harus bilang, aku menikmati segala naik turunnya hidup selama aku di sana.

Aku cukup beruntung, tak perlu bekerja paruh waktu untuk menghidupi diriku di sana karena orangtuaku sepenuhnya menyokong hidupku. Tetapi baru kusadari akhir-akhir ini, betapa aku menyia-nyiakan kesempatan yang aku punya ketika aku hidup di sana. Aku bisa saja memperoleh lebih banyak pengalaman jika aku dulu pernah bekerja menjadi barista di sebuah cafe mungkin, atau pernah menjadi petugas perpustakaan kota, atau pernah bekerja di sebuah bioskop. Semua mungkin akan berbeda alur ceritanya kalau saja aku pernah bekerja di tempat-tempat tersebut. Penyesalan selalu datang terlambat. Kalau datangnya sebelumnya, namanya pendaftaran hihi..

Ketika aku harus mendaftar ke perguruan tinggi pun, aku harus melakukannya sendirian. Mulai dari survey kampus-kampus yang menawarkan jurusan yang aku cari, hingga memasukkan aplikasinya aku lakukan sendiri, tanpa bantuan orang lain. Kemudian, ketika aku harus mencari tempat tinggal baru karena masa tinggalku di homestay yg pertama sudah habis, aku harus mencari flat di iklan-iklan koran, kemudian harus mendatangi tempatnya untuk melihat secara langsung dan berkenalan dengan pemiliknya. Sungguh melelahkan. Tetapi lagi-lagi aku menikmati dan bersyukur karena Tuhan tak pernah jauh dariku. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah homestay yang bisa aku kategorikan istimewa!! Di sinilah hatiku berlabuh. 

Di “keluarga”baruku inilah akhirnya aku bisa menemukan “kedamaian” hidup, seperti yang aku rasakan ketika aku bersama keluargaku sendiri. Aku menemukan sosok ayah dan ibu yang lain di dalam diri pasangan senior yang akrab dipanggil Mr.T and Mrs. T. Sang bapak bernama Vagn Thomassen, seorang imigran asal Denmark yang sudah puluhan tahun menetap di New Zealand. Sedangkan istrinya adalah Huia Thomassen, seorang wanita asli New Zealand yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarga besarnya.

Sungguh beruntung diriku menemukan mereka. Aku tinggal di rumah ini selama empat tahun, dari total enam tahun hidupku di New Zealand. Jadi aku sudah menganggap mereka sebagai keluarga. Hubunganku dengan kedua putri mereka pun cukup dekat. Hingga kini kami masih berkirim kabar melalui Facebook.
 
Singkat cerita, aku merasa kini telah menjelma menjadi manusia baru. Manusia seutuhnya. Aku bisa hidup sendiri di Jakarta setelah menikah lima tahun lalu. Dan yang paling penting aku kini bisa lepas dari bayang-bayang ayah dan ibuku. Aku bisa menjadi Lintang Paramita yang punya kehidupanku sendiri. Tak ada yang peduli apa latar belakangku, siapa orangtuaku, dari mana aku berasal. Orang hanya tau apa yang aku kerjakan sekarang dan apa yang telah aku kerjakan. Mungkin ini yang membuatku merasa jauh lebih nyaman menjadi diriku sendiri. Aku bisa lebih outspoken, cenderung galak sekarang. Hehehe. Mungkin karena aku telah terbiasa menikmati segala keteraturan hidup

18 Jul 2014

MALEFICENT : Sebuah Film Pelintiran Dongeng Putri Tidur

Tak seperti  Mirror Mirror, kemudian Snow White and the Huntsman, ada juga Hansel and Gretel : Witch Hunters, film Maleficent ini justru menjadi satu-satunya film pelintiran dongeng yang bisa nyangkut di kepala saya. Kenapa begitu?

Alasan utama saya adalah Angelina Jolie. Aktingnya bisa dibilang tanpa cela. Dengan wajah tirusnya yang semakin terlihat tirus akibat efek make-up sempurna khas Hollywood, Jolie seolah menyihir para penonton. Tarikan alisnya ketika mengawasi si kecil Aurora bermain, wajah marahnya ketika menjejakkan kakinya di istana untuk memberikan “hadiah” kepada si kecil Aurora. Ini adalah dua dari sekian banyak ekspresi Maleficent yang dimainkan dengan cerdas oleh Jolie. Hanya saya merasa perannya sebagai Maleficent yang ceria dan riang tidak begitu terlihat. Mungkin karena bagian baik dari Ibu Peri ini juga tak terlalu ditonjolkan.

Alasan kedua saya begitu menyukai film dongeng ini adalah ceritanya yang menurut saya sungguh luar biasa. Banyak kejutan-kejutan di dalamnya. Saya yang adalah seorang penggemar cerita-cerita dongeng macam Sleeping Beauty, Snow White atau Cinderella bisa dibilang sudah cukup hapal dengan lika-liku ceritanya. Tapi begitu saya duduk menonton film ini, seketika itu juga buyar semua rumus cerita dongeng yang selalu saya baca di waktu kecil. Bagaimana tidak, di buku-buku dongeng, penyihir jahatlah yang mengutuk Putri Aurora supaya dia tertidur hingga bertahun-tahun lamanya akibat tertusuk jarum pemintal. Sedangkan film ini bercerita bahwa kutukan itu berasal dari seorang penyihir baik yang sakit hati kepada ayah sang Putri. Dan ternyata si penyihir inilah yang bernama Maleficent.

6 Jun 2014

Selamatkan Anak Emas Indonesia!!



Kira-kira dua minggu lalu, saya ditugasi oleh ketua yayasan tempat saya bekerja, Yayasan Komunitas Menara, untuk menghadiri satu workshop. Begitu mengetahui topik yang akan digali adalah dampak pornografi terhadap pertumbuhan anak, jujur saja saya jadi kurang bersemangat. Saya mengharapkan sebuah workshop yang lebih fokus membahas tentang pendidikan karakter anak usia dini atau tentang materi untuk PAUD berbasis sentra. Tapi apalah daya, bila ini adalah suatu keharusan, kami pun harus merelakan waktu kami mengajar selama dua hari untuk mengikuti workshop ini. 

Pada hari H-nya, saya dan satu teman guru datang ke acara tersebut dengan perasaan yang sedikit ogah-ogahan kalau boleh saya bilang. Bagaimana tidak. Begitu pihak penyelenggara membagikan sebuah buku dengan berlembar-lembar halaman menjelaskan tentang kekerasan seksual yang berpotensi terjadi ada anak kecil, yang muncul dalam diri saya malah perasaan tidak nyaman. Pagi itu rasanya saya seperti seseorang yang berada pada tempat yang salah dan waktu yang kurang tepat.

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menikmati sesi workshop ini. Materi pertama diberikan oleh seorang ibu cantik yang tampak selalu tersenyum, sebut saja Ibu Fitri. Beliau memberikan penjelasan tentang apa itu kekerasan seksual pada anak, mulai dari jenis-jenis sentuhan yang boleh dan tak boleh dilakukan, siapa saja yang berpotensi untuk menjadi korban dan pelaku hingga penyebab terjadinya kekerasan seksual. 

Sesi pertama cukup mengundang perasaan bergidik. Bagaimana tidak, kami begitu kuatnya dibombardir oleh image-image mengerikan tentang pemerkosaan anak di bawah umur oleh orang-orang terdekatnya. Tak hanya mendengar cerita-cerita kasus dari pembicara, tetapi ada beberapa peserta yang bahkan bersedia untuk membagikan beberapa pengalaman pribadi mereka. Dan inilah yang menjadi pembuka mata saya. Ada seorang ibu paruh baya yang dengan sesenggukan menceritakan pengalamannya ketika kecil. Ayah tirinya mencoba untuk berbuat tak baik padanya ketika dia sedang sendirian di rumah. Kejadian itu tak hanya sekali dialaminya. Dan hingga saat ini dia mengaku belum bisa memaafkan almarhum ayah tirinya.

30 Jan 2014

a Story about a Most Unusual Friendship... Mary and Max



Sudah beberapa bulan terakhir, saya sering “berburu” film-film kartun. Awalnya sih cuman karena iseng aja karena pilihan DVD film “biasa”nya mulai terbatas. Saya yang biasanya menganggap film kartun hanya cocok ditonton oleh anak-anak, mulai berubah pandangan. Ada beberapa film kartun yang menurut saya bahkan tidak seharusnya ditonton oleh anak kecil. Selain karena jalan ceritanya yang “dewasa”, juga ada film kartun yang terlalu menyeramkan untuk anak-anak. Sebut saja “Monster House”. Kartun seperti “Corpse Bride”, serial “South Park” dan “Family Guy” termasuk kartun yang hanya layak ditonton kaum dewasa. Salah satu kartun yang menurut saya terlalu gelap juga untuk anak-anak adalah “Mary and Max”.


“Mary and Max” ini adalah kartun asal negeri kangguru. Itulah mengapa sebagian besar dari Anda mungkin tak pernah mendengar judul yang satu ini. Kalau biasanya film kartun mengundang gelak tawa penonton, menciptakan aksi menegangkan dan diiringi oleh lagu-lagu berirama riang, kartun ini bisa dibilang bergenre black comedy. Selain suasana suram yang semakin tampak terbangun ketika kita melihat gambar “claymation”(clay animation) black and white, tema yang diangkat film ini pun tak kalah mirisnya. Pemilihan musiknya pun boleh dibilang ciamik. Musik klasik bergaya Rusia semakin menambah pedih hati. Unik. Itulah yang bisa saya ungkapkan. 


Berlatar belakang Australia di era 70an, film ini diawali dengan cerita tentang seorang anak perempuan yang diabaikan oleh orangtuanya.  Mary begitulah namanya. Meskipun memiliki orangtua lengkap, ayahnya menarik diri dari Mary dan ibunya. Pun demikian dengan ibunya, meskipun kelihatan selalu ada di samping Mary, tetapi kebiasaan buruknya dengan alkohol dan rokok mau tak mau berdampak negatif dalam hubungannya dengan Mary.