Aku dibesarkan dalam keluarga kecil, yang bisa dibilang bahagia dan hidup
dalam kecukupan. Papa adalah seorang dokter yang cukup dikenal di beberapa
daerah di Surabaya. Mama adalah mantan sekretaris sebuah perusahaan swasta yang
dengan sepenuh hati rela melepas karirnya demi untuk memberikan bimbingan penuh
kepadaku dan adik semata wayangku.
Semasa sekolah, aku bisa dibilang murid berprestasi. Selama enam tahun
duduk di Sekolah Dasar, aku selalu naik panggung untuk menerima penghargaan
sebagai juara tiga besar di setiap akhir tahun ajaran. Bukan hanya itu, aku
memiliki karakter yang jauh berbeda dari adik laki-lakiku. Di sekolah, aku
dikenal sebagai siswa yang aktif berkegiatan. Aku masuk dalam tim paduan suara
selama bertahun-tahun di masa sekolah. Pernah juga belajar bermusik kolintang.
Sering juga bertugas saat upacara bendera di sekolah selama beberapa tahun.
Tentu saja bukan menjadi Pasukan Pengibar Bendera. Tak apa-apalah. Tinggi tubuh
tak akan pernah menjadi penghalang bagiku hehehe.. Aku lebih sering menjadi
pembawa acara saat upacara bendera.
Sepertinya masa-masa aku menjalani masa kecil dan remajaku berjalan sangat
mulus. Yah, seperti kereta api berjalan di rel. Ideal. Tak banyak
kerikil-kerikil penghalang. Tapi aku punya satu sifat yang boleh dibilang cukup mengganggu. Aku pemalu.
Dalam artian aku tak pernah punya cukup keberanian untuk mengemukakan
pikiranku. Seakan-akan aku selalu menjadi anak penurut. Tetapi sebenarnya di
lubuk hatiku, aku selalu mencoba untuk “melawan” bila ada sesuatu yang bertentangan
dengan nuraniku.
Sedari kecil, aku selalu merasa berbeda dengan kedua orangtua dan adikku.
Mereka semua adalah pribadi yang penuh humor dan juga memiliki pergaulan yang
luas. Aku pun punya banyak teman, tapi
aku selalu merasa aku tak se”gaul” mereka. Suatu hari, mama pernah memergokiku berjalan dalam posisi menunduk ketika
menyusuri jalan di lingkungan tempat kami tinggal. Aku ditegurnya
habis-habisan. Tak hanya itu saja. Dulu aku juga memiliki kebiasaan yang unik,
kalau tak bisa dibilang mengganggu. Setiap kali merasa grogi, gugup atau ketika
santai sekalipun, aku akan menggerak-gerakkan kakiku ke kanan-kiri atau ke
atas-bawah ketika duduk. Gaya tukang jahit begitu papa menyebutnya. Lucunya
lagi kebiasaan yang sama juga dilakukan oleh papa, meskipun dengan alasan yang
berbeda. Ahh.. memang aku pada dasarnya dilahirkan sebagai sosok pemalu dan
penyendiri, meskipun aku dikelilingi sahabat-sahabat yang sudah mengenalku
cukup lama. Sedari remaja, aku sudah menyenangi film. Bahkan aku bisa menonton
bioskop setiap minggu, ada atau tidak ada teman menonton. Bagiku tak masalah
bila aku harus berangkat menonton sendirian, apalagi kalau film yang
ditayangkan memainkan Brad Pitt ataupun Leonardo Dicaprio. Hehehe.. Singkat kata aku cukup menikmati masa mudaku, meskipun aku tak seberani
teman-temanku yang lain.
Tapi suatu hari, saat aku kelas 3 SMA, papa mengatakan niatnya untuk
mengirimku berkuliah di luar negeri. Eitss.. jangan salah biarpun aku merasa
diriku pemalu, aku bukanlah gadis penakut. Begitu ada tawaran super menarik
ini, tanpa pikir panjang aku mengangguk mengiyakan. Tak disangka impianku
sedari SMP, tinggal di negeri orang bisa tercapai secepat ini.
Yang paling mengagumkan lagi, sedari awal aku berangkat ke New Zealand,
orangtuaku tak sekalipun mengantarku ataupun menjengukku hingga aku wisuda.
Memang ada seorang family friend yang
tinggal di sana. Tetapi aku boleh berbangga hati mengatakan bahwa aku bisa
mandiri, bukan secara finansial, tetapi lebih kepada kemampuanku untuk bertahan
hidup di tengah-tengah lingkungan yang sangat berbeda dari tempat aku
dibesarkan.
Sejak awal aku hidup di sebuah keluarga yang memang menyediakan fasilitas
homestay untuk siswa-siswa pendatang. Perlu diketahui, negara sekecil New
Zealand yang bahkan jumlah dombanya lebih banyak dari jumlah populasi
penduduknya sendiri, memiliki sistem pendidikan yang cukup mumpuni untuk
menarik mahasiswa-mahasiswa di negara lain
melanjutkan pendidikan mereka. Jadi tak usah dipertanyakan lagi, aku
bertemu dan mengenal bermacam-macam manusia dari belahan bumi manapun.
Tak seperti dugaanku, aku begitu menikmati masa-masa hidupku di sana. Aku
yang tadinya malu, seakan-akan memiliki sifat yang sangat berbeda begitu
“dipaksa” untuk mempertahankan hidup di negeri orang. Aku jadi belajar tentang
bagaimana caranya untuk membuka percakapan dengan orang yang baru saja aku
temui, belajar tentang bagaimana menjadi pribadi yang menyenangkan, belajar
untuk mengatur waktu, belajar untuk menjadi orang yg punctual alias on time, belajar untuk berkomunikasi dengan berbagai
macam orang dari segala lapisan, mulai dari teman sebaya hingga dosen bertitel
Doktor. Dan sungguh pengalamanku hidup di sana merubahku menjadi seorang
Lintang yang sama sekali berbeda.
Pernah suatu saat, aku harus tinggal di flat, berbagi rumah dengan 4
temanku yang lain, yang notabene bukan orang Indonesia. Di sini aku benar-benar
belajar bahwa tak semua orang punya niat
baik. Aku yang sebelumnya adalah aku yang naif, yang selalu berpikiran bahwa
pemeran antagonis hanya ada di sinetron-sinetron picisan, dan tak mungkin aku
temui di dunia nyata. Ternyata aku SALAH BESAR!! Aku menemui bermacam-macam
karakter manusia di sini. Ada yang munafik, ada yang pembohong, ada yang tukang
fitnah, ada yang egois, ada yang baik juga tentu saja. Tapi mataku jadi terbuka
saat aku dihadapkan dengan kehidupanku yang baru ini. Dan sekali lagi aku harus
bilang, aku menikmati segala naik turunnya hidup selama aku di sana.
Aku cukup beruntung, tak perlu bekerja paruh waktu untuk menghidupi diriku
di sana karena orangtuaku sepenuhnya menyokong hidupku. Tetapi baru kusadari
akhir-akhir ini, betapa aku menyia-nyiakan kesempatan yang aku punya ketika aku
hidup di sana. Aku bisa saja memperoleh lebih banyak pengalaman jika aku dulu
pernah bekerja menjadi barista di sebuah cafe mungkin, atau pernah menjadi
petugas perpustakaan kota, atau pernah bekerja di sebuah bioskop. Semua mungkin
akan berbeda alur ceritanya kalau saja aku pernah bekerja di tempat-tempat
tersebut. Penyesalan selalu datang terlambat. Kalau datangnya sebelumnya,
namanya pendaftaran hihi..
Ketika aku harus mendaftar ke perguruan tinggi pun, aku harus melakukannya
sendirian. Mulai dari survey kampus-kampus yang menawarkan jurusan yang aku
cari, hingga memasukkan aplikasinya aku lakukan sendiri, tanpa bantuan orang
lain. Kemudian, ketika aku harus mencari tempat tinggal baru karena masa
tinggalku di homestay yg pertama sudah habis, aku harus mencari flat di
iklan-iklan koran, kemudian harus mendatangi tempatnya untuk melihat secara
langsung dan berkenalan dengan pemiliknya. Sungguh melelahkan. Tetapi lagi-lagi
aku menikmati dan bersyukur karena Tuhan tak pernah jauh dariku. Hingga
akhirnya aku menemukan sebuah homestay yang bisa aku kategorikan istimewa!! Di
sinilah hatiku berlabuh.
Di “keluarga”baruku inilah akhirnya aku bisa menemukan “kedamaian” hidup,
seperti yang aku rasakan ketika aku bersama keluargaku sendiri. Aku menemukan
sosok ayah dan ibu yang lain di dalam diri pasangan senior yang akrab dipanggil
Mr.T and Mrs. T. Sang bapak bernama Vagn Thomassen, seorang imigran asal
Denmark yang sudah puluhan tahun menetap di New Zealand. Sedangkan istrinya
adalah Huia Thomassen, seorang wanita asli New Zealand yang mengabdikan seluruh
hidupnya untuk keluarga besarnya.
Sungguh beruntung diriku menemukan mereka. Aku tinggal di rumah ini selama
empat tahun, dari total enam tahun hidupku di New Zealand. Jadi aku sudah
menganggap mereka sebagai keluarga. Hubunganku dengan kedua putri mereka pun
cukup dekat. Hingga kini kami masih berkirim kabar melalui Facebook.
Singkat cerita, aku merasa kini telah menjelma menjadi manusia baru.
Manusia seutuhnya. Aku bisa hidup sendiri di Jakarta setelah menikah lima tahun
lalu. Dan yang paling penting aku kini bisa lepas dari bayang-bayang ayah dan
ibuku. Aku bisa menjadi Lintang Paramita yang punya kehidupanku sendiri. Tak
ada yang peduli apa latar belakangku, siapa orangtuaku, dari mana aku berasal. Orang
hanya tau apa yang aku kerjakan sekarang dan apa yang telah aku kerjakan. Mungkin ini yang membuatku merasa jauh lebih nyaman menjadi diriku sendiri.
Aku bisa lebih outspoken, cenderung
galak sekarang. Hehehe. Mungkin karena aku telah terbiasa menikmati segala
keteraturan hidup