Translate

23 Jul 2013

Mengenal Seorang Kakek Buyut

Baru saja minggu lalu saya kembali dari liburan yang menyenangkan. Sebenarnya saya tidak ada rencana sama sekali untuk ikut berlibur dengan orang tua saya. Kebetulan saja suami sedang ada dinas ke luar kota selama seminggu, dan saya ingin memanfaatkan waktu yang cukup lama ini untuk bercengkerama dengan keluarga, terutama dengan keponakan saya yang baru berusia 6 bulan.

Kami menghabiskan waktu selama empat hari di Jogjakarta. Ada satu acara keluarga yang tidak boleh dilewatkan selama kami di sini. 
Akan diadakan pemberkatan sebuah patung, yakni patung eyang buyut saya, Eyang Andreas Manase Martoatmodjo. Sungguh ini pertama kalinya saya mengenal sejarah keluarga ibu saya. Selama ini saya hanya samar-samar mendengar kiprah Eyang Andreas ini.

Anda pasti bertanya-tanya siapakah Eyang Andreas ini, sampai-sampai para keturunannya berbondong-bondong datang untuk membuatkan sebuah patung.

Baiklah, saya akan mulai menuturkan perjalanan sejarah singkat ini. 
Eyang Andreas adalah salah satu orang awam yang ikut andil dalam pengembangan agama Katolik di tanah Jawa bersama dengan Romo Fransiscus Gregorius van Lith, SJ. Konon saat itu Romo van Lith dan Eyang Andreas sempat terlibat dalam perdebatan. Saking sengitnya perdebatan ini, mereka berdua saling mempertaruhkan keyakinannya. Eyang yang saat itu memeluk agama Kristen pun akhirnya harus menyerah kalah dan berganti keyakinan menjadi Katolik. Inilah awal mula perkenalan Eyang dengan Romo van Lith dan karya-karya misionarisnya.
Romo van Lith tiba untuk pertama kalinya di Semarang, pada tahun 1896. Beliau kemudian mempelajari budaya Jawa sebagai pembekalan sebelum beliau benar-benar terjun ke tengah masyarakat Jawa. Sejak 1897, beliau ditempatkan di Muntilan. Muntilan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan berjarak sekitar 25 Km dari Yogyakarta. 
Mungkin saya tidak akan pernah tahu ada daerah bernama Muntilan jika moyang saya tidak dilahirkan di sana :)

Nama Romo van Lith mulai dikenal ketika beliau mampu menyelaraskan ajaran agama Katolik Roma dengan tradisi Jawa. Melihat hal ini masyarakat Jawa pun dapat menerima ajaran agama baru ini dengan tangan terbuka. 
Sampai saat ini di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Katolik dianggap memiliki pengaruh yang cukup besar.

Romo van Lith bersama dengan para misionaris, termasuk Eyang Andreas pun memulai karyanya dengan memperjuangkan pendidikan bagi para pribumi di jaman kolonial Belanda. Di desa kecil bernama Semampir, 
mereka mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah gereja. Saat itulah Romo van Lith memulai pembangunan sebuah kompleks persekolahan Katolik di Muntilan. Sekolah untuk penduduk pribumi Jawa ini didirikan untuk anak Jawa dari agama apa pun. Pada awalnya sekolah ini memiliki murid sebanyak 107 orang, bahkan 32 anak di antaranya tidak beragama Katolik.

Kemudian, pada tahun 1911 Romo van Lith membuka sebuah seminari, 
yakni sekolah khusus untuk para calon pastor. Seminari ini adalah yang pertama di Indonesia. Salah satu lulusan dari seminari ini di antaranya Mgr A Soegijapranata SJ (1896- 1963), yang akan menjadi Uskup di Keuskupan
Agung Semarang di kemudian hari.

Gereja kecil dan sekolah-sekolah di Desa Semampir inilah yang kemudian berkembang menjadi satu kompleks yang pada tahun 1911 dinamai Kolese Franciscus Xaverius. Lewat pendidikan sekolah Katolik inilah lahir beberapa tokoh politik Katolik seperti Kasimo dan Frans Seda. Kelak sekolah ini dikenal sebagai SMA Pangudi Luhur Van Lith. Sekolah ini memiliki sistem asrama. 
Dan yang menjadi ibu asrama saat itu adalah istri Eyang Andreas,
yaitu Eyang Christina Poncosentono. Sungguh saya tidak menyangka bahwa Eyang Putri buyut saya ini ternyata terlibat secara aktif di dalam misi pendidikan Romo van Lith. Pada saat itu, Romo Van Lith begitu memperjuangkan pendidikan bagi para pribumi. Beliau lah yang mengusahakan pengiriman mahasiswa-mahasiswa pribumi ke perguruan tinggi di Belanda.

Eyang Andreas ternyata adalah sosok di balik Babad Suci. 
Beliaulah yang menerjemahkan kisah-kisah dari Alkitab ini ke dalam Bahasa Jawa dan ditulis kembali menggunakan Aksara Jawa. Babad Suci inilah yang digunakan oleh Bapak Sarikromo untuk mengajarkan Agama Katolik.
Singkat kata, Eyang Andreas adalah tangan kanan Romo van Lith yang dengan setia menemani beliau mengajar agama keluar masuk desa.

Bila anda pernah mendengar sebuah tempat ziarah di daerah Muntilan, 
tempat Romo Sandjaja dikebumikan, yang bernama Kerkop, inilah tanah milik Eyang Andreas yang dipersembahkan khusus untuk Romo van Lith. 
Oleh karena itu, semua putera dan puteri Eyang Andreas mendapatkan hak untuk dimakamkan di tanah itu.

Terus terang saja setelah mendengarkan kisah kakek buyut saya ini, 
saya merasa amat bangga bisa mewarisi darah seorang Andreas.
Tapi saya tak mau terlena dengan kenyataan ini. Apalah artinya menjadi cucu dari seorang tokoh teladan bila tidak bisa benar-benar meneladani sifat dan karakter baik beliau. Apalah artinya mengadakan misa besar untuk memperingati hari meninggalnya kakek buyut, bila tidak bisa menjadi seorang yang rendah hati dan mau melayani seperti Eyang Andreas.
Semoga saya sebagai keturunan dari Andreas Manase Martoatmodjo mampu menjadi seorang yang berarti di tengah masyarakat.

2 comments:

  1. Salam...
    Ternyata kita satu garis keturunan..saya dr keturunan eyang Martinus Brotodarsono

    ReplyDelete
  2. Salam kenal juga.. :) Saya mesti manggil apa ya hehe
    Saya dari keturunan Eyang Rafael Brotoatmodjo

    ReplyDelete