Translate

25 Jun 2013

Soe Hok-Gie part 2


Seiring dengan berjalannya waktu, Gie pun mulai meniti pendidikan di Universitas Indonesia. Di lingkungan kampus inilah, Gie menjadi seorang aktivis mahasiswa yang kritis. Kendati berasal dari keluarga minoritas Tionghoa, ia mendedikasikan dirinya untuk kepentingan bangsanya tanpa memandang agama dan warna kulit. Sebagai seorang intelektual yang merasa terpanggil untuk melakukan perubahan, Gie memainkan dua peran sekaligus yakni sebagai man on the street dan  man on the paper. 

Pada awalnya Gie dan kawan-kawannya percaya bila rezim Orde Lama jatuh maka keadaan akan menjadi lebih baik. Tetapi malah berujung anti klimaks. Setelah Bung Karno “dilengserkan” dan Soeharto mendapuk dirinya sendiri sebagai Presiden, situasi ternyata tak jadi lebih aman. Pembunuhan besar-besaran dilakukan kepada para anggota PKI dan mereka yang dituduh sebagai simpatisannya. Gie menjadi amat geram. Dia memposisikan dirinya sebagai pihak netral yang tidak memihak partai komunis ataupun pemerintah. Menurutnya sejahat apapun seseorang, ia mempunyai hak untuk membela diri dan mendapatkan pembelaan hukum di pengadilan.

Tetapi di masa-masa genting itulah, teman-teman aktivisnya justru lebih memilih untuk menjadi anggota parlemen. Gie sungguh kecewa. Menurut Gie, mahasiswa seharusnya bisa menjadi kekuatan yang independen dan tidak terpengaruh oleh unsur politik manapun. Mereka itu diharapkan bisa meruntuhkan suatu pemerintahan yang buruk dengan suatu rezim baru yang lebih baik. Setelah pemerintahan baru terbentuk, mahasiswa-mahasiswa itupun harus kembali belajar.

Saking kecewanya Gie dengan kawan-kawan aktivis yang mengkhianati perjuangan mereka, sebelum berangkat ke Semeru, dia menyempatkan diri mengirimi mereka bedak, gincu, cermin, benang dan jarum. Barang-barang ini menyimbolkan suatu cara untuk “mempercantik” diri di mata penguasa. “Bekerjalah lebih baik, hidup orde baru! Nikmatilah kursi Anda-tidurlah nyenyak”, tulisnya sinis di surat yang dia lampirkan bersama dengan alat-alat kosmetik tadi.
Tidak hanya kritik-kritik sosial yang pedas, Gie juga mewujudkan rasa nasionalismenya dengan hobi naik gunungnya. Saking cintanya dengan alam, Gie dan teman-temannya bersama-sama memprakarsai berdirinya Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala). Bahkan dahulu di awal berdirinya Mapala UI, Gie sempat menjabat sebagai Ketua Mapala FS-UI. Ironisnya, hidup Gie pun berakhir di atas Gunung Semeru, di saat dia dan keenam temannya dari Mapala FS-UI untuk pertama kalinya melakukan pendakian "besar". Sebenarnya di antara ketujuh orang pendaki tersebut ada tiga orang peserta non-Mapala UI. Dan salah satu dari ketiga orang itulah yang akhirnya "menemani" Gie berpulang ke pangkuan Ilahi.
 
Gie saat itu ingin sekali merayakan hari kelahirannya, 17 Desember, tepat di puncak Semeru. Bahkan dua malam sebelumnya, dia sempat berkata kepada teman-temannya, "Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Malam ini bikin makanan apa?". Dan mereka pun memutuskan untuk makan supermi* rebus dengan telur dan kornet. Masing-masing menenggak vitamin C yang dilarutkan dengan air dingin. Coklat s*lverqu**n, yang pada waktu itu dianggap sebagai makanan mewah pun turut menemani malam dingin mereka.

Keesokan harinya mereka mendaki Puncak Mahameru. Semuanya berjalan seperti biasa, hingga mereka menyaksikan letupan Kawah Jonggring Seloko. Sengatan bau belerang pun mulai menusuk indera penciuman. Pemandangan alam yang seharusnya terlihat indah itu pada akhirnya menjadi tontonan yang sedikit mengerikan.  

Di tengah udara dingin yang menggigit, Gie sedang duduk termenung sendirian dengan gaya khasnya: duduk dengan lutut terlipat ke dada dan tangan menopang dagu. Rudy Badil, kawan mendaki Soe saat itu dan juga salah seorang penulis "Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya", berhenti sejenak demi berbasa-basi menyapa Gie. Tiba-tiba dengan tersenyum, Gie yang dalam waktu sehari lagi akan berulang tahun itu menitipkan benda-benda yang dia temukan di Puncak Semeru, seperti sejumput daun cemara dan bebatuan. Dia berpesan kepada kedua temannya itu, "Nih gue titip ya. Itu batu dan daun cemara dari tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kasih buat cewek-cewek kita di Kampus Rawamangun ya". Kemudian teman-temannya itu melanjutkan perjalanan turun ke arah Recopodo. Begitu beratnya medan yang ditempuh oleh para pemuda ini, sampai-sampai selama perjalanan turun itu, seingat Rudy Badil, mereka kebanyakan merosot, sambil menekuk kaki dan memakai telapak tangan sebagai kemudi untuk mengarahkan tubuh yang loyo merosot ke bawah. 

Rudy, Tides dan Maman sudah terlebih dahulu sampai di kemah induk dekat Ranu Kumbolo. Ketika hari sudah mulai remang, terdengar suara gemerisik. Dan ternyata itu suara Freddy Lasut. Dengan suara panik, dia berseru, "Soe dan Idhan kecelakaan. Hok-Gie dan Idhan kecelakaan! Herman masih jaga mereka, di atas sana, masih di atas". Rudy dan Tides sungguh terkejut.  Mereka memutuskan supaya Freddy kembali naik ke atas untuk mencari tahu penyebab kecelakaan Soe dan Idhan. Beberapa waktu kemudian, Freddy dan Herman meluncur turun. Ya, hanya Herman berdua dengan Freddy saja, tanpa Soe dan Idhan. "Hok-Gie dan Idhan so meninggal. Mereka tiba-tiba kejang-kejang dan kemudian tidak bergerak," ujar Herman.
 
Soe Hok-Gie memang telah tiada. Ia telah kembali ke dalam pelukan bumi Nusantara yang sangat ia cintai. Namun saya yakin akan ada Hok-gie Hok-gie yang lain, yang memiliki hati nurani dan berintegritas tinggi.

Saya sering merasa penasaran dan bertanya-tanya apa yang kira-kira akan Gie lakukan ketika dia melihat begitu banyak ketidakadilan yang terjadi di negeri ini, apa yang akan dia kritik di koran-koran nasional begitu mendengar bagaimana negeri ini masih menjadi negeri terjajah di era globalisasi seperti saat ini.
       

No comments:

Post a Comment