Seiring dengan berjalannya waktu, Gie pun mulai meniti
pendidikan di Universitas Indonesia. Di lingkungan kampus inilah, Gie menjadi
seorang aktivis mahasiswa yang kritis. Kendati berasal dari keluarga minoritas
Tionghoa, ia mendedikasikan dirinya untuk kepentingan bangsanya tanpa memandang
agama dan warna kulit. Sebagai seorang intelektual yang merasa terpanggil untuk
melakukan perubahan, Gie memainkan dua peran sekaligus yakni sebagai man on
the street dan man on the
paper.
Pada awalnya Gie dan kawan-kawannya percaya bila rezim Orde
Lama jatuh maka keadaan akan menjadi lebih baik. Tetapi malah berujung anti
klimaks. Setelah Bung Karno “dilengserkan” dan Soeharto mendapuk dirinya
sendiri sebagai Presiden, situasi ternyata tak jadi lebih aman. Pembunuhan
besar-besaran dilakukan kepada para anggota PKI dan mereka yang dituduh sebagai
simpatisannya. Gie menjadi amat geram. Dia memposisikan dirinya sebagai pihak
netral yang tidak memihak partai komunis ataupun pemerintah. Menurutnya sejahat
apapun seseorang, ia mempunyai hak untuk membela diri dan mendapatkan pembelaan
hukum di pengadilan.
Tetapi di masa-masa genting itulah, teman-teman aktivisnya
justru lebih memilih untuk menjadi anggota parlemen. Gie sungguh kecewa. Menurut
Gie, mahasiswa seharusnya bisa menjadi kekuatan yang independen dan tidak terpengaruh
oleh unsur politik manapun. Mereka itu diharapkan bisa meruntuhkan suatu
pemerintahan yang buruk dengan suatu rezim baru yang lebih baik. Setelah pemerintahan
baru terbentuk, mahasiswa-mahasiswa itupun harus kembali belajar.
Saking kecewanya Gie dengan kawan-kawan aktivis yang
mengkhianati perjuangan mereka, sebelum berangkat ke Semeru, dia menyempatkan
diri mengirimi mereka bedak, gincu, cermin, benang dan jarum. Barang-barang ini
menyimbolkan suatu cara untuk “mempercantik” diri di mata penguasa. “Bekerjalah lebih baik,
hidup orde baru! Nikmatilah kursi Anda-tidurlah nyenyak”, tulisnya sinis di
surat yang dia lampirkan bersama dengan alat-alat kosmetik tadi.
Tidak hanya kritik-kritik sosial yang pedas, Gie juga
mewujudkan rasa nasionalismenya dengan hobi naik gunungnya. Saking cintanya dengan
alam, Gie dan teman-temannya bersama-sama memprakarsai berdirinya Mahasiswa
Pencinta Alam (Mapala). Bahkan dahulu di awal berdirinya Mapala UI, Gie sempat
menjabat sebagai Ketua Mapala FS-UI. Ironisnya, hidup Gie pun berakhir di atas Gunung Semeru, di
saat dia dan keenam temannya dari Mapala FS-UI untuk pertama kalinya melakukan
pendakian "besar". Sebenarnya di antara ketujuh orang pendaki
tersebut ada tiga orang peserta non-Mapala UI. Dan salah satu dari ketiga orang
itulah yang akhirnya "menemani" Gie berpulang ke pangkuan Ilahi.
Gie saat itu ingin sekali merayakan hari kelahirannya, 17
Desember, tepat di puncak Semeru. Bahkan dua malam sebelumnya, dia sempat
berkata kepada teman-temannya, "Gimana ya,
seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Malam ini bikin makanan
apa?". Dan mereka pun memutuskan untuk makan supermi* rebus dengan telur
dan kornet. Masing-masing menenggak vitamin C yang dilarutkan dengan air
dingin. Coklat s*lverqu**n, yang
pada waktu itu dianggap sebagai makanan mewah pun
turut menemani malam dingin mereka.
Keesokan harinya mereka mendaki Puncak Mahameru. Semuanya
berjalan seperti biasa, hingga
mereka menyaksikan letupan Kawah Jonggring Seloko. Sengatan bau belerang pun
mulai menusuk indera penciuman. Pemandangan alam yang seharusnya terlihat indah
itu pada akhirnya menjadi tontonan yang sedikit mengerikan.
Di tengah udara dingin yang menggigit, Gie sedang duduk
termenung sendirian dengan gaya khasnya: duduk dengan lutut terlipat ke dada
dan tangan menopang dagu. Rudy
Badil, kawan mendaki Soe saat itu dan juga salah seorang penulis "Buku,
Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya", berhenti sejenak demi berbasa-basi
menyapa Gie. Tiba-tiba dengan tersenyum, Gie yang dalam waktu sehari lagi akan
berulang tahun itu menitipkan benda-benda yang dia temukan di Puncak Semeru, seperti sejumput daun cemara dan bebatuan. Dia berpesan
kepada kedua temannya itu, "Nih gue titip ya. Itu batu dan daun cemara
dari tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kasih buat cewek-cewek kita di Kampus
Rawamangun ya". Kemudian teman-temannya itu melanjutkan perjalanan turun ke
arah Recopodo. Begitu beratnya
medan yang ditempuh oleh para pemuda ini, sampai-sampai selama perjalanan turun
itu, seingat Rudy Badil, mereka kebanyakan merosot, sambil menekuk kaki dan
memakai telapak tangan sebagai kemudi untuk mengarahkan tubuh yang loyo merosot
ke bawah.
Rudy, Tides
dan Maman sudah terlebih dahulu sampai di kemah induk dekat Ranu Kumbolo. Ketika hari sudah mulai remang, terdengar suara gemerisik.
Dan ternyata itu suara Freddy Lasut. Dengan suara panik, dia berseru, "Soe
dan Idhan kecelakaan. Hok-Gie dan Idhan kecelakaan! Herman masih jaga mereka, di
atas sana, masih di atas". Rudy dan Tides sungguh terkejut. Mereka memutuskan supaya Freddy kembali
naik ke atas untuk mencari tahu penyebab kecelakaan Soe dan Idhan. Beberapa
waktu kemudian, Freddy dan Herman
meluncur turun. Ya, hanya
Herman berdua dengan Freddy saja, tanpa Soe dan Idhan. "Hok-Gie dan Idhan
so meninggal. Mereka tiba-tiba kejang-kejang dan kemudian tidak bergerak,"
ujar Herman.
Soe Hok-Gie memang telah tiada. Ia telah kembali ke dalam
pelukan bumi Nusantara yang sangat ia cintai. Namun saya yakin akan ada Hok-gie
Hok-gie yang lain, yang memiliki hati nurani dan berintegritas tinggi.
Saya sering merasa penasaran dan bertanya-tanya apa yang
kira-kira akan Gie lakukan ketika dia melihat begitu banyak ketidakadilan yang
terjadi di negeri ini, apa yang akan dia kritik di koran-koran nasional begitu
mendengar bagaimana negeri ini masih menjadi negeri terjajah di era globalisasi
seperti saat ini.
No comments:
Post a Comment