Seperti yang sudah pernah saya ungkapkan di blog sebelumnya,
saya ini orang Jawa yang tidak terlalu "dipusingkan" oleh tetek
bengek Jawa. Saya tidak bisa menggunakan bahasa Kromo Inggil. Hanya mengerti,
tak menggunakan secara aktif. Saya juga tidak menikah dengan menggunakan segala
macam kerepotan khas adat Jawa. Bagi saya, saya adalah orang Indonesia. Tidak
pernah ada kebanggaan saya menjadi orang Jawa :)
Tetapi semua jadi berubah ketika saya menghabiskan beberapa
hari di Jogjakarta bersama orang tua dan keluarga adik papa. Kami menghabiskan
dua hari mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sana, termasuk Museum Ullen
Sentalu dan Pemakaman Raja di Imogiri. Saya begitu terkesan dengan peninggalan
sejarah kerajaan-kerajaan Jawa tersebut. Bukan hanya peninggalan yang berupa
benda fisik saja, tetapi juga peninggalan yang berupa budaya serta
pemikirannya.
Saya akan bercerita terlebih dahulu tentang Museum Ullen
Sentalu, yang terletak di area wisata Kaliurang. Museum ini sebenarnya belum
bisa dikatakan museum kuno karena "baru" diresmikan tahun 1997.
Letaknya ada di sebuah taman bernama Taman Kaswargan. Dinamakan Kaswargan
karena taman ini terletak di lereng Gunung Merapi, yang oleh orang Jawa
dianggap sebagai surga atau sebuah tempat yang suci.
Sekilas mengenai latar belakang didirikannya Museum Ullen
Sentalu. Ullen Sentalu didirikan di era globalisasi, di mana ada paradigma baru
yang cenderung berpijak pada intangible heritage, yakni warisan budaya yang berupa kisah
atau peristiwa yang tak berwujud benda. Budaya tak berwujud,
seperti pengetahuan, keterampilan serta ekspresi inilah yang dianggap lebih
rentan pada kepunahan. Apalagi di jaman sekarang ini, yang begitu banyak
dibanjiri informasi dan hiburan dari dunia barat.
Berdasarkan kondisi inilah, Ullen Sentalu menciptakan sebuah
terobosan baru. Pertama, museum ini tidak dibuat di suatu bangunan cagar budaya,
melainkan di suatu gedung baru yang terletak di lanskap kosong. Kedua,
pengelola museum ini adalah sebuah perusahaan swasta dan bukan pemerintah.
Ketiga, koleksi barang yang dipamerkan di sini benar-benar koleksi pilihan.
Jadi museum ini tidak mengandalkan jumlah koleksi yang besar, tetapi hanya
mengandalkan koleksi yang dianggap baik dan relevan dengan masa kini. Keempat,
tidak semua koleksi museum ini artifak atau benda memorabilia. Sebagian lagi
adalah peninggalan sejarah yang berupa kisah dan presentasi di masa lampau. Dan
yang terakhir, bisa dipastikan Anda tidak akan menemui label atau papan informasi
di dalam museum ini karena di sini tour guide lah yang akan membimbing Anda
menembus masa lampau :)
Kebetulan ketika kami berkunjung ke sana, kami mendapatkan
seorang tour guide yang begitu berbakat dan menguasai sejarah Kerajaan
Jogjakarta. Dia menerangkan foto demi foto, kisah demi kisah dengan penuh
penghayatan. Saya yang penggemar cerita berbau sejarah ini sampai dibuatnya
terpukau.
Begitu memasuki museum, saya sudah siap dengan sebuah buku
dan pulpen. Saya sudah siap untuk menjelajah waktu, walau tanpa mesin waktu :) Dan
si mbak ini lah yang begitu telaten menerangkan berbagai kisah menarik tentang
para anggota Kerajaan serta menjawab segala macam pertanyaan yang saya ajukan. Saya berpikir kapan lagi saya bisa mengorek informasi
sebanyak-banyaknya tentang kisah di balik kelap-kelipnya kerajaan, bila tidak
melalui seseorang yang saya anggap mengetahui seluk-beluknya.
Sayang sekali
hingga saat ini saya masih berjuang untuk mengingat-ingat nama mbak tour guide
ini. Saya berhutang banyak kepadanya. Dia secara tidak langsung telah
membangunkan gairah saya akan sejarah :) Sejarah yang menjadi penghubung antara
saya dan nenek moyang saya. Ibu saya kebetulan memiliki hubungan darah yang
sama dengan Sultan Hamengku Buwono I.
Oh well, sebenarnya bukan hubungan itu yang membuat saya
menjadi sangat tertarik dengan sejarah Kerajaan Jogja ini. Saya seperti
menemukan dunia baru, dunia yang penuh intrik dan drama. Dan satu lagi,
anggapan saya tentang wanita-wanita Kraton kini telah berubah. Dahulu saya
pernah berpikir bahwa para permaisuri raja adalah wanita yang dimanja dalam
kemewahan, sehingga
mereka pun menjadi pribadi yang kolokan, dan hanya mengandalkan orang lain. Tetapi setelah menelusuri Ullen
Sentalu, saya pun mengerti bahwa para permaisuri ini adalah wanita pilihan. Mereka
bukan wanita sembarangan, yang hanya mengandalkan kecantikan fisik untuk
menarik perhatian orang.
Saya akan menceritakan beberapa potongan kisah yang saya
anggap menarik dan patut Anda ketahui. Ada bagian museum yang bernama Guwo Sela
Giri, yang dibangun di bawah tanah. Ruangan
ini berupa lorong panjang yang berbelok-belok. Sengaja dibuat seperti ini
supaya bangunan ini bisa berdiri tanpa harus menebangi pohon-pohon di
sekitarnya. Ruang ini memamerkan karya-karya lukis dokumentasi dari
tokoh-tokoh yang mewakili kraton Dinasti Mataram. Kemudian ada ruang seni tari
dan gamelan. Di ruangan ini ada
seperangkat gamelan yang merupakan hadiah dari salah seorang pangeran
Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, di ruang ini juga
terdapat beberapa lukisan tari.
Bukan, bukan gamelan-gamelan ini yang menarik
perhatian saya.
Tetapi salah satu lukisan seorang wanita cantik, yang ternyata
adalah GRAy Siti Nurul Kusumawardhani, putri tunggal Mangkunegara VII dengan
permaisuri GKR Timur, yaitu putri
Sultan Hamengku Buwono VII.
Putri ayu ini ternyata masih hidup hingga sekarang. Beliau
sudah berumur 92 tahun dan kini tinggal di Bandung. Yang membuat saya begitu
mengagumi ibu ini adalah keteguhan hatinya untuk meninggalkan seluruh kekuasaan
yang bisa ia raup sebagai putri raja. Apalagi bila mengingat saat itu, begitu
banyak petinggi di negara ini yang sangat mendambakan Gusti Nurul untuk menjadi
pendamping hidupnya. Sebut saja orang tertinggi Republik ini ketika itu,
Bung
Karno. Seperti yang sudah
kita semua ketahui, Presiden kita yang satu ini terkenal sebagai penakluk
wanita cantik. Kemudian ada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan juga Kolonel GPH
Djatikusumo (Panglima tentara saat itu) yang juga menaruh hati kepada Gusti
Nurul.
Tetapi hati wanita cantik ini tak bergeming sedikit pun.
Alasannya sungguh teramat sederhana. Dia adalah seorang penentang poligami.
Tidak hanya itu saja, dia memang tidak tertarik untuk menikahi seorang tokoh
politik karena menurutnya itu terlalu beresiko. Hingga usianya mencapai 30 tahun, Gusti Nurul belum juga
menikah. Padahal kala itu, anak-anak gadis pada umumnya
sudah dipinang semenjak berusia belasan tahun.
Orang-orang makin penasaran dengan
masa depan kehidupan percintaan Gusti Nurul. Di tahun 1951 terkuak juga
akhirnya siapa yang sanggup melunakkan hati sang putri. Pria itu bukanlah
seorang pembesar atau tokoh terpandang. Ia hanyalah seorang tentara. Surjo
Sularso namanya. Dia tak lain dan tak bukan adalah sepupu dari Gusti Nurul
sendiri.
Di Museum Ullen Sentalu, ada sebuah ruangan khusus yang
dipersembahkan untuk Gusti Nurul. Ruang Putri Dambaan. Diresmikan sendiri oleh
si empunya cerita, di hari ulang tahunnya yang ke-81. Di sini, ada sebuah
gambar menarik di mana Gusti Nurul sedang mempersembahkan sebuah tarian di
pernikahan Putri Juliana. Uniknya, tarian ini dilakukan secara teleconference. Musik
gamelannya dimainkan secara langsung di Keraton Solo sementara sang Putri
sedang menari dengan luwesnya di negeri Belanda. Saat itu usianya baru
menginjak angka 15 tahun.
Tak hanya mahir menari, beliau juga seorang penunggang kuda
yang hebat dan gemar bermain tennis. Sungguh tak biasa kedengarannya bukan
untuk seorang putri raja Jawa saat itu.
No comments:
Post a Comment