Translate

18 Sept 2013

Museum Ullen Sentalu


Seperti yang sudah pernah saya ungkapkan di blog sebelumnya, saya ini orang Jawa yang tidak terlalu "dipusingkan" oleh tetek bengek Jawa. Saya tidak bisa menggunakan bahasa Kromo Inggil. Hanya mengerti, tak menggunakan secara aktif. Saya juga tidak menikah dengan menggunakan segala macam kerepotan khas adat Jawa. Bagi saya, saya adalah orang Indonesia. Tidak pernah ada kebanggaan saya menjadi orang Jawa :)

Tetapi semua jadi berubah ketika saya menghabiskan beberapa hari di Jogjakarta bersama orang tua dan keluarga adik papa. Kami menghabiskan dua hari mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sana, termasuk Museum Ullen Sentalu dan Pemakaman Raja di Imogiri. Saya begitu terkesan dengan peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa tersebut. Bukan hanya peninggalan yang berupa benda fisik saja, tetapi juga peninggalan yang berupa budaya serta pemikirannya.

Saya akan bercerita terlebih dahulu tentang Museum Ullen Sentalu, yang terletak di area wisata Kaliurang. Museum ini sebenarnya belum bisa dikatakan museum kuno karena "baru" diresmikan tahun 1997. Letaknya ada di sebuah taman bernama Taman Kaswargan. Dinamakan Kaswargan karena taman ini terletak di lereng Gunung Merapi, yang oleh orang Jawa dianggap sebagai surga atau sebuah tempat yang suci.

Sekilas mengenai latar belakang didirikannya Museum Ullen Sentalu. Ullen Sentalu didirikan di era globalisasi, di mana ada paradigma baru yang cenderung berpijak pada intangible heritage, yakni warisan budaya yang berupa kisah atau peristiwa yang tak berwujud benda. Budaya tak berwujud, seperti pengetahuan, keterampilan serta ekspresi inilah yang dianggap lebih rentan pada kepunahan. Apalagi di jaman sekarang ini, yang begitu banyak dibanjiri informasi dan hiburan dari dunia barat.

Berdasarkan kondisi inilah, Ullen Sentalu menciptakan sebuah terobosan baru. Pertama, museum ini tidak dibuat di suatu bangunan cagar budaya,  melainkan di suatu gedung baru yang terletak di lanskap kosong. Kedua, pengelola museum ini adalah sebuah perusahaan swasta dan bukan pemerintah. Ketiga, koleksi barang yang dipamerkan di sini benar-benar koleksi pilihan. Jadi museum ini tidak mengandalkan jumlah koleksi yang besar, tetapi hanya mengandalkan koleksi yang dianggap baik dan relevan dengan masa kini. Keempat, tidak semua koleksi museum ini artifak atau benda memorabilia. Sebagian lagi adalah peninggalan sejarah yang berupa kisah dan presentasi di masa lampau. Dan yang terakhir, bisa dipastikan Anda tidak akan menemui label atau papan informasi di dalam museum ini karena di sini tour guide lah yang akan membimbing Anda menembus masa lampau :)

Kebetulan ketika kami berkunjung ke sana, kami mendapatkan seorang tour guide yang begitu berbakat dan menguasai sejarah Kerajaan Jogjakarta. Dia menerangkan foto demi foto, kisah demi kisah dengan penuh penghayatan. Saya yang penggemar cerita berbau sejarah ini sampai dibuatnya terpukau.

Begitu memasuki museum, saya sudah siap dengan sebuah buku dan pulpen. Saya sudah siap untuk menjelajah waktu, walau tanpa mesin waktu :) Dan si mbak ini lah yang begitu telaten menerangkan berbagai kisah menarik tentang para anggota Kerajaan serta menjawab segala macam pertanyaan yang saya ajukan. Saya berpikir kapan lagi saya bisa mengorek informasi sebanyak-banyaknya tentang kisah di balik kelap-kelipnya kerajaan, bila tidak melalui seseorang yang saya anggap mengetahui seluk-beluknya. 

Sayang sekali hingga saat ini saya masih berjuang untuk mengingat-ingat nama mbak tour guide ini. Saya berhutang banyak kepadanya. Dia secara tidak langsung telah membangunkan gairah saya akan sejarah :) Sejarah yang menjadi penghubung antara saya dan nenek moyang saya. Ibu saya kebetulan memiliki hubungan darah yang sama dengan Sultan Hamengku Buwono I.
 
Oh well, sebenarnya bukan hubungan itu yang membuat saya menjadi sangat tertarik dengan sejarah Kerajaan Jogja ini. Saya seperti menemukan dunia baru, dunia yang penuh intrik dan drama. Dan satu lagi, anggapan saya tentang wanita-wanita Kraton kini telah berubah. Dahulu saya pernah berpikir bahwa para permaisuri raja adalah wanita yang dimanja dalam kemewahan, sehingga mereka pun menjadi pribadi yang kolokan, dan hanya mengandalkan orang lain. Tetapi setelah menelusuri Ullen Sentalu, saya pun mengerti bahwa para permaisuri ini adalah wanita pilihan. Mereka bukan wanita sembarangan, yang hanya mengandalkan kecantikan fisik untuk menarik perhatian orang.

Saya akan menceritakan beberapa potongan kisah yang saya anggap menarik dan patut Anda ketahui. Ada bagian museum yang bernama Guwo Sela Giri, yang dibangun di bawah tanah. Ruangan ini berupa lorong panjang yang berbelok-belok. Sengaja dibuat seperti ini supaya bangunan ini bisa berdiri tanpa harus menebangi pohon-pohon di sekitarnya. Ruang ini memamerkan karya-karya lukis dokumentasi dari tokoh-tokoh yang mewakili kraton Dinasti Mataram. Kemudian ada ruang seni tari dan gamelan. Di ruangan ini ada seperangkat gamelan yang merupakan hadiah dari salah seorang pangeran Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, di ruang ini juga terdapat beberapa lukisan tari. 

Bukan, bukan gamelan-gamelan ini yang menarik perhatian saya. 
Tetapi salah satu lukisan seorang wanita cantik, yang ternyata adalah GRAy Siti Nurul Kusumawardhani, putri tunggal Mangkunegara VII dengan permaisuri GKR Timur, yaitu putri Sultan Hamengku Buwono VII.

Putri ayu ini ternyata masih hidup hingga sekarang. Beliau sudah berumur 92 tahun dan kini tinggal di Bandung. Yang membuat saya begitu mengagumi ibu ini adalah keteguhan hatinya untuk meninggalkan seluruh kekuasaan yang bisa ia raup sebagai putri raja. Apalagi bila mengingat saat itu, begitu banyak petinggi di negara ini yang sangat mendambakan Gusti Nurul untuk menjadi pendamping hidupnya. Sebut saja orang tertinggi Republik ini ketika itu, 
Bung Karno. Seperti yang sudah kita semua ketahui, Presiden kita yang satu ini terkenal sebagai penakluk wanita cantik. Kemudian ada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan juga Kolonel GPH Djatikusumo (Panglima tentara saat itu) yang juga menaruh hati kepada Gusti Nurul.

Tetapi hati wanita cantik ini tak bergeming sedikit pun. Alasannya sungguh teramat sederhana. Dia adalah seorang penentang poligami. Tidak hanya itu saja, dia memang tidak tertarik untuk menikahi seorang tokoh politik karena menurutnya itu terlalu beresiko. Hingga usianya mencapai 30 tahun, Gusti Nurul belum juga menikah. Padahal kala itu, anak-anak gadis pada umumnya sudah dipinang semenjak berusia belasan tahun.                       

Orang-orang makin penasaran dengan masa depan kehidupan percintaan Gusti Nurul. Di tahun 1951 terkuak juga akhirnya siapa yang sanggup melunakkan hati sang putri. Pria itu bukanlah seorang pembesar atau tokoh terpandang.  Ia hanyalah seorang tentara. Surjo Sularso namanya. Dia tak lain dan tak bukan adalah sepupu dari Gusti Nurul sendiri.

Di Museum Ullen Sentalu, ada sebuah ruangan khusus yang dipersembahkan untuk Gusti Nurul. Ruang Putri Dambaan. Diresmikan sendiri oleh si empunya cerita, di hari ulang tahunnya yang ke-81. Di sini, ada sebuah gambar menarik di mana Gusti Nurul sedang mempersembahkan sebuah tarian di pernikahan Putri Juliana. Uniknya, tarian ini dilakukan secara teleconference. Musik gamelannya dimainkan secara langsung di Keraton Solo sementara sang Putri sedang menari dengan luwesnya di negeri Belanda. Saat itu usianya baru menginjak angka 15 tahun.

Tak hanya mahir menari, beliau juga seorang penunggang kuda yang hebat dan gemar bermain tennis. Sungguh tak biasa kedengarannya bukan untuk seorang putri raja Jawa saat itu.

No comments:

Post a Comment