Translate

30 Jan 2014

a Story about a Most Unusual Friendship... Mary and Max



Sudah beberapa bulan terakhir, saya sering “berburu” film-film kartun. Awalnya sih cuman karena iseng aja karena pilihan DVD film “biasa”nya mulai terbatas. Saya yang biasanya menganggap film kartun hanya cocok ditonton oleh anak-anak, mulai berubah pandangan. Ada beberapa film kartun yang menurut saya bahkan tidak seharusnya ditonton oleh anak kecil. Selain karena jalan ceritanya yang “dewasa”, juga ada film kartun yang terlalu menyeramkan untuk anak-anak. Sebut saja “Monster House”. Kartun seperti “Corpse Bride”, serial “South Park” dan “Family Guy” termasuk kartun yang hanya layak ditonton kaum dewasa. Salah satu kartun yang menurut saya terlalu gelap juga untuk anak-anak adalah “Mary and Max”.


“Mary and Max” ini adalah kartun asal negeri kangguru. Itulah mengapa sebagian besar dari Anda mungkin tak pernah mendengar judul yang satu ini. Kalau biasanya film kartun mengundang gelak tawa penonton, menciptakan aksi menegangkan dan diiringi oleh lagu-lagu berirama riang, kartun ini bisa dibilang bergenre black comedy. Selain suasana suram yang semakin tampak terbangun ketika kita melihat gambar “claymation”(clay animation) black and white, tema yang diangkat film ini pun tak kalah mirisnya. Pemilihan musiknya pun boleh dibilang ciamik. Musik klasik bergaya Rusia semakin menambah pedih hati. Unik. Itulah yang bisa saya ungkapkan. 


Berlatar belakang Australia di era 70an, film ini diawali dengan cerita tentang seorang anak perempuan yang diabaikan oleh orangtuanya.  Mary begitulah namanya. Meskipun memiliki orangtua lengkap, ayahnya menarik diri dari Mary dan ibunya. Pun demikian dengan ibunya, meskipun kelihatan selalu ada di samping Mary, tetapi kebiasaan buruknya dengan alkohol dan rokok mau tak mau berdampak negatif dalam hubungannya dengan Mary.
Di sekolah, Mary dikucilkan oleh teman-temannya karena dia tak mampu membeli mainan terbaru. Tanda lahir di dahi Mary seolah menambah penderitaannya. Teman sekolahnya selalu mengolok-oloknya. Alhasil, Mary hanya menemukan figur orangtua dan teman di dalam diri tetangganya, Len. “Berteman” dengan Len yang veteran perang dan kehilangan kedua kakinya ini sebenarnya bukan suatu keadaan yang menyenangkan. Mereka tak berbincang-bincang seperti karib pada umumnya. The closest thing she has ever done for him is to collect letters for Len. IRONIC! 



Suatu hari, Mary memutuskan untuk mencari sahabat pena dari Amerika dengan cara mencari nama dan alamat dari sebuah buku direktori secara acak. Dan hanya sebuah kebetulan sajalah kalau dia memilih Max Jerry Horowitz, seorang laki-laki dewasa penderita obesitas dan beberapa kelainan psikologis, termasuk autis (asperger syndrom untuk lebih spesifiknya) juga anxiety attacks. 


Kebalikan dari karakter Mary yang sebenarnya senang bergaul, hanya saja kurang diterima oleh lingkungannya, Max adalah pribadi yang susah sekali bersosialisasi dengan orang lain. Sifat gugup dan pendiamnya lah yang membuatnya susah berinteraksi sosial. Dalam kesepian dan rasa frustasi mereka inilah akhirnya sebuah persahabatan yang  tampak mustahil mulai terbentuk. Max melihat persahabatan jarak jauhnya dengan Mary ini berdampak positif untuk perkembangan emosionalnya. Pun demikian dengan Mary. Dia mendapatkan seseorang untuk berbagi cerita dan perasaan. 


Pertanyaan-pertanyaan seputar dunia orang dewasa juga tak luput Mary ungkapkan di dalam surat-suratnya. Mary sempat bercerita bagaimana dia sering diasingkan (di-bully) di sekolah karena tanda lahirnya. Mendengar keluh kesah Mary, ingatan Max pun melayang ke masa lampau ketika dia juga mengalami kejadian yang sama, di-bully oleh teman-temannya. Setelah berhasil menenangkan diri, Max kemudian memberikan solusi untuk Mary. “Bilang saja pada mereka, tanda lahirmu itu terbuat dari coklat, yang berarti ketika kamu naik ke surga, kamulah orang yang berkuasa atas coklat-coklat di sana,” begitu nasehat Max di suratnya. Setelah beberapa waktu, Max pun menerima surat balasan Mary. Di situ, gadis kecil ini bercerita bagaimana saran Max mengenai tanda lahirnya itu berhasil. Tapi ada cerita lain yang membuat Max merasa takut dan khawatir. Mary mengaku dia telah mengungkapkan perasaan cintanya kepada tetangga tampan di samping rumahnya. Hal ini lah yang membuat Max menjadi makin gelisah hingga dia pun mengalami depresi dan sempat dirawat di institusi penderita penyakit jiwa. Di sini dia mendapatkan semua jawaban mengapa dia mengalami kesulitan untuk menjalin persahabatan dan hubungan percintaannya pun selalu kandas di tengah jalan. Dia memiliki keyakinan bahwa persahabatannya dengan Mary mampu membangkitkan kondisi mentalnya. Oleh sebab itu, selama ini dia selalu bersemangat membalas lembar demi lembar surat yang dikirimkan Mary jauh-jauh dari negeri seberang. 


Berbulan-bulan lamanya, hubungan Mary dan Max terputus. Sementara Max menghabiskan waktunya untuk mengobati depresinya, Mary pun mulai bertanya-tanya mengapa Max seakan-akan menghilang ditelan bumi. Setelah keluar dari institusi kejiwaan, banyak peristiwa yang menghiasi hidup Max. Dia sempat terkait dengan kasus pembunuhan tak disengaja kemudian setelah bebas dari ancaman hukuman pidana karena kondisi psikologisnya secara mengejutkan Max memenangkan lotere. Meskipun hidupnya kini telah berubah 180 derajat, hidup Max kini terasa hampa dan dia baru menyadari bahwa kekosongan ini disebabkan karena hilangnya Mary di dalam hidupnya.


Max kemudian mulai menulis surat lagi untuk Mary. Kehadiran surat-surat itu lah yang membuat Mary kembali bahagia. Mereka pun saling berkirim surat lagi selama bertahun-tahun kemudian. Sementara Max menjalani hidup senormal mungkin, sekarang giliran Mary yang mengalami pahit manisnya kehidupan. Ayah Mary meninggal dunia ketika bekerja di pinggir pantai. Tak hanya itu saja, ibunya yang seorang alkoholik pun makin larut dalam kesedihan hingga secara tak sengaja menenggak obat yang akhirnya mengakhiri hidupnya.


Setelah ditinggal kedua orang tuanya, Mary pun melanjutkan hidupnya dan memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di jurusan psikologi dengan berfokus pada penyakit kejiwaan. Setelah berbagai cobaan datang dan pergi, Mary akhirnya menemukan kebahagiaannya. Dia akhirnya menikah dengan cinta monyetnya, si pemuda sebelah rumah, Damien. Mary juga menulis thesisnya dengan tema asperger syndrom dan menjadikan Max sebagai studi kasusnya. Dengan semangatnya, Mary mengirimkan karya tulisnya itu ke sahabat karibnya. Tetapi apa yang terjadi? Max marah besar. Dia tak bisa menerima bahwa dia sebenarnya “cacat” secara kejiwaan. Mengetahui Max begitu marah, Mary pun jatuh ke dalam kesedihan yang teramat dalam. Dia pun menghancurkan semua bukunya yang diterbitkan berdasarkan karya tulisnya. Selain hubungannya dengan Max yang hancur, Mary juga harus mengalami kepahitan yang lain. Damien, suaminya, ternyata memiliki hubungan sesama jenis dengan lelaki lain. 


Di akhir cerita, Mary berkesempatan untuk mengunjungi Max di Amerika. Tetapi apa yang dia temui jauh dari harapan. Mary menemukan Max sudah terbujur kaku di ruang TV, meninggal dengan tenang pagi itu. Gadis kecil yang sudah berubah menjadi wanita dewasa itupun duduk di sebelah jasad sahabat lamanya yang terbaring dalam posisi mendongak. Betapa terkejutnya Mary melihat apa yang sedang Max pandangi sesaat sebelum dia meninggal dunia. Max menempel semua surat-surat Mary di dinding atas apartemennya. Air mata Mary pun otomatis menggenang mengetahui betapa Max sangat menyayanginya, melebihi kasih sayang kedua orang tuanya maupun mantan suaminya dahulu. Ketika mereka memiliki kesempatan untuk bertatap muka langsung, semuanya sudah terlambat. Tetapi Mary tak akan pernah menyesali semua yang telah terjadi. 


Sesuai dengan tagline film ini, “Sometimes perfect strangers make the best friends”. Mungkin mereka berbeda secara usia, fisik, karakter maupun latar belakang. Mereka bahkan tak pernah saling mengenal satu sama lain. Tetapi mereka adalah contoh persahabatan yang bisa dibilang paling tidak biasa. Coba bayangkan bila kita berada di posisi mereka, dan kita berkenalan dengan orang asing melalui internet, bukan surat. Pasti sebagian besar dari kita tak akan langsung menaruh kepercayaan kepada lawan bicara kita, apalagi bisa menjadi sahabat selama bertahun-tahun. 


Sepertinya kita mesti belajar dari kedua orang ini. Seorang laki-laki tua penderita kelainan kejiwaan dan seorang gadis kecil yang polos tampaknya mengerti lebih banyak tentang arti persahabatan dari orang-orang lain yang terlihat lebih “normal” dan “dewasa”dari mereka berdua. 

Terkadang hanya penampilan fisik seseorang lah yang kita lihat. Padahal tak jarang orang-orang yang kita anggap biasa saja sebenarnya memiliki hati dan perangai yang luar biasa. Siapa yang menyangka orang se"abnormal" Max mampu menjalin suatu persahabatan yang tulus, persahabatan yang tak mengenal pamrih.

No comments:

Post a Comment