Sudah beberapa bulan terakhir, saya sering “berburu” film-film kartun.
Awalnya sih cuman karena iseng aja karena pilihan DVD film “biasa”nya mulai
terbatas. Saya yang biasanya menganggap film kartun hanya cocok ditonton oleh
anak-anak, mulai berubah pandangan. Ada beberapa film kartun yang menurut saya
bahkan tidak seharusnya ditonton oleh anak kecil. Selain karena jalan ceritanya
yang “dewasa”, juga ada film kartun yang terlalu menyeramkan untuk anak-anak.
Sebut saja “Monster House”. Kartun seperti “Corpse Bride”, serial “South Park”
dan “Family Guy” termasuk kartun yang hanya layak ditonton kaum dewasa. Salah
satu kartun yang menurut saya terlalu gelap juga untuk anak-anak adalah “Mary
and Max”.
“Mary and Max” ini adalah kartun asal negeri kangguru. Itulah mengapa
sebagian besar dari Anda mungkin tak pernah mendengar judul yang satu ini. Kalau
biasanya film kartun mengundang gelak tawa penonton, menciptakan aksi
menegangkan dan diiringi oleh lagu-lagu berirama riang, kartun ini bisa
dibilang bergenre black comedy. Selain suasana suram yang semakin tampak
terbangun ketika kita melihat gambar “claymation”(clay animation) black and
white, tema yang diangkat film ini pun tak kalah mirisnya. Pemilihan musiknya
pun boleh dibilang ciamik. Musik klasik bergaya Rusia semakin menambah pedih
hati. Unik. Itulah yang bisa saya ungkapkan.
Berlatar belakang Australia di era 70an, film ini diawali dengan cerita
tentang seorang anak perempuan yang diabaikan oleh orangtuanya. Mary begitulah namanya. Meskipun memiliki
orangtua lengkap, ayahnya menarik diri dari Mary dan ibunya. Pun demikian
dengan ibunya, meskipun kelihatan selalu ada di samping Mary, tetapi kebiasaan
buruknya dengan alkohol dan rokok mau tak mau berdampak negatif dalam
hubungannya dengan Mary.
Suatu hari, Mary memutuskan untuk mencari sahabat pena dari Amerika dengan
cara mencari nama dan alamat dari sebuah buku direktori secara acak. Dan hanya
sebuah kebetulan sajalah kalau dia memilih Max Jerry Horowitz, seorang laki-laki dewasa penderita obesitas
dan beberapa kelainan psikologis, termasuk autis (asperger syndrom untuk lebih
spesifiknya) juga anxiety attacks.
Kebalikan dari karakter Mary yang sebenarnya senang bergaul, hanya saja
kurang diterima oleh lingkungannya, Max adalah pribadi yang susah sekali
bersosialisasi dengan orang lain. Sifat gugup dan pendiamnya lah yang
membuatnya susah berinteraksi sosial. Dalam kesepian dan rasa frustasi mereka
inilah akhirnya sebuah persahabatan yang
tampak mustahil mulai terbentuk. Max melihat persahabatan jarak jauhnya
dengan Mary ini berdampak positif untuk perkembangan emosionalnya. Pun demikian
dengan Mary. Dia mendapatkan seseorang untuk berbagi cerita dan perasaan.
Pertanyaan-pertanyaan seputar dunia orang dewasa juga tak luput Mary
ungkapkan di dalam surat-suratnya. Mary sempat bercerita bagaimana dia sering
diasingkan (di-bully) di sekolah karena tanda lahirnya. Mendengar keluh kesah
Mary, ingatan Max pun melayang ke masa lampau ketika dia juga mengalami kejadian
yang sama, di-bully oleh teman-temannya. Setelah berhasil menenangkan diri, Max
kemudian memberikan solusi untuk Mary. “Bilang saja pada mereka, tanda lahirmu
itu terbuat dari coklat, yang berarti ketika kamu naik ke surga, kamulah orang
yang berkuasa atas coklat-coklat di sana,” begitu nasehat Max di suratnya.
Setelah beberapa waktu, Max pun menerima surat balasan Mary. Di situ, gadis
kecil ini bercerita bagaimana saran Max mengenai tanda lahirnya itu berhasil.
Tapi ada cerita lain yang membuat Max merasa takut dan khawatir. Mary mengaku
dia telah mengungkapkan perasaan cintanya kepada tetangga tampan di samping
rumahnya. Hal ini lah yang membuat Max menjadi makin gelisah hingga dia pun
mengalami depresi dan sempat dirawat di institusi penderita penyakit jiwa. Di
sini dia mendapatkan semua jawaban mengapa dia mengalami kesulitan untuk
menjalin persahabatan dan hubungan percintaannya pun selalu kandas di tengah
jalan. Dia memiliki keyakinan bahwa persahabatannya dengan Mary mampu membangkitkan
kondisi mentalnya. Oleh sebab itu, selama ini dia selalu bersemangat membalas
lembar demi lembar surat yang dikirimkan Mary jauh-jauh dari negeri seberang.
Berbulan-bulan lamanya, hubungan Mary dan Max terputus. Sementara Max
menghabiskan waktunya untuk mengobati depresinya, Mary pun mulai bertanya-tanya
mengapa Max seakan-akan menghilang ditelan bumi. Setelah keluar dari institusi
kejiwaan, banyak peristiwa yang menghiasi hidup Max. Dia sempat terkait dengan
kasus pembunuhan tak disengaja kemudian setelah bebas dari ancaman hukuman
pidana karena kondisi psikologisnya secara mengejutkan Max memenangkan lotere. Meskipun
hidupnya kini telah berubah 180 derajat, hidup Max kini terasa hampa dan dia
baru menyadari bahwa kekosongan ini disebabkan karena hilangnya Mary di dalam
hidupnya.
Max kemudian mulai menulis surat lagi untuk Mary. Kehadiran surat-surat itu
lah yang membuat Mary kembali bahagia. Mereka pun saling berkirim surat lagi
selama bertahun-tahun kemudian. Sementara Max menjalani hidup senormal mungkin,
sekarang giliran Mary yang mengalami pahit manisnya kehidupan. Ayah Mary
meninggal dunia ketika bekerja di pinggir pantai. Tak hanya itu saja, ibunya
yang seorang alkoholik pun makin larut dalam kesedihan hingga secara tak
sengaja menenggak obat yang akhirnya mengakhiri hidupnya.
Setelah ditinggal kedua orang tuanya, Mary pun melanjutkan hidupnya dan
memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di jurusan psikologi dengan berfokus
pada penyakit kejiwaan. Setelah berbagai cobaan datang dan pergi, Mary akhirnya
menemukan kebahagiaannya. Dia akhirnya menikah dengan cinta monyetnya, si
pemuda sebelah rumah, Damien. Mary juga menulis thesisnya dengan tema asperger
syndrom dan menjadikan Max sebagai studi kasusnya. Dengan semangatnya, Mary
mengirimkan karya tulisnya itu ke sahabat karibnya. Tetapi apa yang terjadi?
Max marah besar. Dia tak bisa menerima bahwa dia sebenarnya “cacat” secara
kejiwaan. Mengetahui Max begitu marah, Mary pun jatuh ke dalam kesedihan yang
teramat dalam. Dia pun menghancurkan semua bukunya yang diterbitkan berdasarkan
karya tulisnya. Selain hubungannya dengan Max yang hancur, Mary juga harus
mengalami kepahitan yang lain. Damien, suaminya, ternyata memiliki hubungan
sesama jenis dengan lelaki lain.
Di akhir cerita, Mary berkesempatan untuk mengunjungi Max di Amerika.
Tetapi apa yang dia temui jauh dari harapan. Mary menemukan Max sudah terbujur
kaku di ruang TV, meninggal dengan tenang pagi itu. Gadis kecil yang sudah
berubah menjadi wanita dewasa itupun duduk di sebelah jasad sahabat lamanya
yang terbaring dalam posisi mendongak. Betapa terkejutnya Mary melihat apa yang
sedang Max pandangi sesaat sebelum dia meninggal dunia. Max menempel semua
surat-surat Mary di dinding atas apartemennya. Air mata Mary pun otomatis
menggenang mengetahui betapa Max sangat menyayanginya, melebihi kasih sayang
kedua orang tuanya maupun mantan suaminya dahulu. Ketika mereka memiliki
kesempatan untuk bertatap muka langsung, semuanya sudah terlambat. Tetapi Mary
tak akan pernah menyesali semua yang telah terjadi.
Sesuai dengan tagline film ini, “Sometimes perfect strangers make the best
friends”. Mungkin mereka berbeda secara usia, fisik, karakter maupun latar
belakang. Mereka bahkan tak pernah saling mengenal satu sama lain. Tetapi
mereka adalah contoh persahabatan yang bisa dibilang paling tidak biasa. Coba
bayangkan bila kita berada di posisi mereka, dan kita berkenalan dengan orang
asing melalui internet, bukan surat. Pasti sebagian besar dari kita tak akan
langsung menaruh kepercayaan kepada lawan bicara kita, apalagi bisa menjadi
sahabat selama bertahun-tahun.
Sepertinya kita mesti belajar dari kedua orang ini. Seorang laki-laki tua
penderita kelainan kejiwaan dan seorang gadis kecil yang polos tampaknya
mengerti lebih banyak tentang arti persahabatan dari orang-orang lain yang terlihat
lebih “normal” dan “dewasa”dari mereka berdua.
Terkadang hanya penampilan fisik seseorang lah yang kita lihat. Padahal tak jarang orang-orang yang kita anggap biasa saja sebenarnya memiliki hati dan perangai yang luar biasa. Siapa yang menyangka orang se"abnormal" Max mampu menjalin suatu persahabatan yang tulus, persahabatan yang tak mengenal pamrih.
Terkadang hanya penampilan fisik seseorang lah yang kita lihat. Padahal tak jarang orang-orang yang kita anggap biasa saja sebenarnya memiliki hati dan perangai yang luar biasa. Siapa yang menyangka orang se"abnormal" Max mampu menjalin suatu persahabatan yang tulus, persahabatan yang tak mengenal pamrih.
No comments:
Post a Comment