Kira-kira dua minggu lalu, saya ditugasi oleh ketua yayasan tempat saya
bekerja, Yayasan Komunitas Menara, untuk menghadiri satu workshop. Begitu
mengetahui topik yang akan digali adalah dampak pornografi terhadap pertumbuhan
anak, jujur saja saya jadi kurang bersemangat. Saya mengharapkan sebuah
workshop yang lebih fokus membahas tentang pendidikan karakter anak usia dini
atau tentang materi untuk PAUD berbasis sentra. Tapi apalah daya, bila ini
adalah suatu keharusan, kami pun harus merelakan waktu kami mengajar selama dua
hari untuk mengikuti workshop ini.
Pada hari H-nya, saya dan satu teman guru datang ke acara tersebut dengan
perasaan yang sedikit ogah-ogahan kalau boleh saya bilang. Bagaimana tidak. Begitu
pihak penyelenggara membagikan sebuah buku dengan berlembar-lembar halaman
menjelaskan tentang kekerasan seksual yang berpotensi terjadi ada anak kecil,
yang muncul dalam diri saya malah perasaan tidak nyaman. Pagi itu rasanya saya
seperti seseorang yang berada pada tempat yang salah dan waktu yang kurang
tepat.
Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menikmati sesi workshop ini. Materi
pertama diberikan oleh seorang ibu cantik yang tampak selalu tersenyum, sebut
saja Ibu Fitri. Beliau memberikan penjelasan tentang apa itu kekerasan seksual
pada anak, mulai dari jenis-jenis sentuhan yang boleh dan tak boleh dilakukan, siapa
saja yang berpotensi untuk menjadi korban dan pelaku hingga penyebab terjadinya
kekerasan seksual.
Sesi pertama cukup mengundang perasaan bergidik. Bagaimana tidak, kami
begitu kuatnya dibombardir oleh image-image mengerikan tentang pemerkosaan anak
di bawah umur oleh orang-orang terdekatnya. Tak hanya mendengar cerita-cerita
kasus dari pembicara, tetapi ada beberapa peserta yang bahkan bersedia untuk
membagikan beberapa pengalaman pribadi mereka. Dan inilah yang menjadi pembuka
mata saya. Ada seorang ibu paruh baya yang dengan sesenggukan menceritakan
pengalamannya ketika kecil. Ayah tirinya mencoba untuk berbuat tak baik padanya
ketika dia sedang sendirian di rumah. Kejadian itu tak hanya sekali dialaminya.
Dan hingga saat ini dia mengaku belum bisa memaafkan almarhum ayah tirinya.
Yang membuat dia merasa sakit hati adalah perasaan ditinggalkan. Bagaimana
tidak. Waktu dia memberanikan diri untuk berkeluh kesah kepada ibunya perihal
kelakuan amoral ayah tirinya, bukan pembelaan serta perlindungan yang dia
dapatkan. Ibunya malah membujuknya untuk tidak membocorkan kejadian ini karena
ibunya beranggapan itu adalah “aib” keluarga.
Menurut saya cara pandang inilah yang sering jadi penghambat di masyarakat
kita, apalagi bila berkaitan dengan kejahatan seksual. “Jangan sampai ada orang
yang dengar kejadian itu, memalukan sekali.” “Tidak perlu lah lapor polisi,
makin ruwet nanti.” Dan segudang alasan lainnya. Tapi hal ini lah yang bisa
menjadi api dalam sekam. Masalah yang tak kelihatan karena sengaja
disembunyikan itu bagai bom waktu. Karena keengganan para korban untuk melapor
dan membagikan pengalaman gelapnya itu banyak orang yang tak menyadari begitu
berbahayanya para predator seks ini. Yang membuat hati ketar-ketir adalah
pelakunya bisa siapa saja, mulai dari orang yang benar-benar asing hingga orang
terdekat si korban sendiri.
Sang pelaku pun ternyata bisa berjenis kelamin perempuan. Ini pernyataan
yang saya dapat dari Ibu Fitri ketika workshop kemarin. Tepat saat kami
menghadiri workshop SEMAI ini, berita tentang pelecehan seksual di sebuah
sekolah internasional ternama di Jakarta mulai merebak. Benar-benar sebuah
kebetulan. Dari awal kasus ini, si korban sudah mulai menyinggung bahwa ada
seorang perempuan di antara para pelaku keji itu, dengan menyebut si oknum
“Mbak”. Mencengangkan sekali, bukan? Bagaimana bisa seorang wanita, yang
identik dengan kelembutan bisa berbuat sejahat itu kepada seorang anak kecil
yang tak berdaya. Saya bukan seorang psikolog yang bisa memberikan jawaban yang
cukup tepat. Tetapi menurut saya ini bisa disebabkan karena kondisi kejiwaan
sang wanita yang kurang normal.
Yang paling penting dilakukan oleh pihak berwenang ketika dihadapkan pada
kasus pelecehan seksual, baik yang dilakukan pada orang dewasa maupun anak-anak
sebenarnya adalah menaruh perhatian penuh pada korbannya. Pelaku sudah
sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatan kejinya. Korban
mungkin saja tidak kehilangan nyawanya. Tetapi ada satu hal yang sebenarnya
telah hilang. Semangat hidupnya. Anak yang tadinya ceria bisa tiba-tiba menjadi
tertutup dan pemarah. Seorang wanita yang tadinya penuh percaya diri, seketika
saja bisa menjadi seorang yang penakut dan penuh curiga.
Bantuan konseling dari seorang psikolog memang dirasa sangat perlu.
Bagaimana seorang korban begitu menjadi tertutup dan cenderung mengalami
depresi lah yang harusnya menjadi fokus penanganan kasus ini. Saya sering
menangkap kesan, dari media-media massa, seolah-olah polisi hanya fokus untuk
“mengurusi”pelaku. Ya kalau untuk menelisik tentang apa yang terjadi saat itu,
bagaimana dulunya dia bisa menjadi seorang yang kejam seperti itu, berapa orang
yang telah menjadi korban, itu masih wajar. Tetapi jika si pelaku dijadikan
Pelaku memang sudah sepantasnya dihukum dan “dipermalukan”di muka umum.
Tetapi jangan lupa, sebagian dari mereka adalah korban juga sebelum mereka
akhirnya menjadi “pembunuh” jiwa orang lain. Tetap utamakan penyembuhan jiwa
dari pelaku dan korban terutama. Tak ada seorang pun di dunia ini yang
menghendaki dirinya menjadi pelaku, apalagi sampai menjadi korban.
No comments:
Post a Comment