Translate

6 Jun 2014

Selamatkan Anak Emas Indonesia!!



Kira-kira dua minggu lalu, saya ditugasi oleh ketua yayasan tempat saya bekerja, Yayasan Komunitas Menara, untuk menghadiri satu workshop. Begitu mengetahui topik yang akan digali adalah dampak pornografi terhadap pertumbuhan anak, jujur saja saya jadi kurang bersemangat. Saya mengharapkan sebuah workshop yang lebih fokus membahas tentang pendidikan karakter anak usia dini atau tentang materi untuk PAUD berbasis sentra. Tapi apalah daya, bila ini adalah suatu keharusan, kami pun harus merelakan waktu kami mengajar selama dua hari untuk mengikuti workshop ini. 

Pada hari H-nya, saya dan satu teman guru datang ke acara tersebut dengan perasaan yang sedikit ogah-ogahan kalau boleh saya bilang. Bagaimana tidak. Begitu pihak penyelenggara membagikan sebuah buku dengan berlembar-lembar halaman menjelaskan tentang kekerasan seksual yang berpotensi terjadi ada anak kecil, yang muncul dalam diri saya malah perasaan tidak nyaman. Pagi itu rasanya saya seperti seseorang yang berada pada tempat yang salah dan waktu yang kurang tepat.

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menikmati sesi workshop ini. Materi pertama diberikan oleh seorang ibu cantik yang tampak selalu tersenyum, sebut saja Ibu Fitri. Beliau memberikan penjelasan tentang apa itu kekerasan seksual pada anak, mulai dari jenis-jenis sentuhan yang boleh dan tak boleh dilakukan, siapa saja yang berpotensi untuk menjadi korban dan pelaku hingga penyebab terjadinya kekerasan seksual. 

Sesi pertama cukup mengundang perasaan bergidik. Bagaimana tidak, kami begitu kuatnya dibombardir oleh image-image mengerikan tentang pemerkosaan anak di bawah umur oleh orang-orang terdekatnya. Tak hanya mendengar cerita-cerita kasus dari pembicara, tetapi ada beberapa peserta yang bahkan bersedia untuk membagikan beberapa pengalaman pribadi mereka. Dan inilah yang menjadi pembuka mata saya. Ada seorang ibu paruh baya yang dengan sesenggukan menceritakan pengalamannya ketika kecil. Ayah tirinya mencoba untuk berbuat tak baik padanya ketika dia sedang sendirian di rumah. Kejadian itu tak hanya sekali dialaminya. Dan hingga saat ini dia mengaku belum bisa memaafkan almarhum ayah tirinya.

Yang membuat dia merasa sakit hati adalah perasaan ditinggalkan. Bagaimana tidak. Waktu dia memberanikan diri untuk berkeluh kesah kepada ibunya perihal kelakuan amoral ayah tirinya, bukan pembelaan serta perlindungan yang dia dapatkan. Ibunya malah membujuknya untuk tidak membocorkan kejadian ini karena ibunya beranggapan itu adalah “aib” keluarga.

Menurut saya cara pandang inilah yang sering jadi penghambat di masyarakat kita, apalagi bila berkaitan dengan kejahatan seksual. “Jangan sampai ada orang yang dengar kejadian itu, memalukan sekali.” “Tidak perlu lah lapor polisi, makin ruwet nanti.” Dan segudang alasan lainnya. Tapi hal ini lah yang bisa menjadi api dalam sekam. Masalah yang tak kelihatan karena sengaja disembunyikan itu bagai bom waktu. Karena keengganan para korban untuk melapor dan membagikan pengalaman gelapnya itu banyak orang yang tak menyadari begitu berbahayanya para predator seks ini. Yang membuat hati ketar-ketir adalah pelakunya bisa siapa saja, mulai dari orang yang benar-benar asing hingga orang terdekat si korban sendiri.

Sang pelaku pun ternyata bisa berjenis kelamin perempuan. Ini pernyataan yang saya dapat dari Ibu Fitri ketika workshop kemarin. Tepat saat kami menghadiri workshop SEMAI ini, berita tentang pelecehan seksual di sebuah sekolah internasional ternama di Jakarta mulai merebak. Benar-benar sebuah kebetulan. Dari awal kasus ini, si korban sudah mulai menyinggung bahwa ada seorang perempuan di antara para pelaku keji itu, dengan menyebut si oknum “Mbak”. Mencengangkan sekali, bukan? Bagaimana bisa seorang wanita, yang identik dengan kelembutan bisa berbuat sejahat itu kepada seorang anak kecil yang tak berdaya. Saya bukan seorang psikolog yang bisa memberikan jawaban yang cukup tepat. Tetapi menurut saya ini bisa disebabkan karena kondisi kejiwaan sang wanita yang kurang normal.

Yang paling penting dilakukan oleh pihak berwenang ketika dihadapkan pada kasus pelecehan seksual, baik yang dilakukan pada orang dewasa maupun anak-anak sebenarnya adalah menaruh perhatian penuh pada korbannya. Pelaku sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatan kejinya. Korban mungkin saja tidak kehilangan nyawanya. Tetapi ada satu hal yang sebenarnya telah hilang. Semangat hidupnya. Anak yang tadinya ceria bisa tiba-tiba menjadi tertutup dan pemarah. Seorang wanita yang tadinya penuh percaya diri, seketika saja bisa menjadi seorang yang penakut dan penuh curiga.

Bantuan konseling dari seorang psikolog memang dirasa sangat perlu. Bagaimana seorang korban begitu menjadi tertutup dan cenderung mengalami depresi lah yang harusnya menjadi fokus penanganan kasus ini. Saya sering menangkap kesan, dari media-media massa, seolah-olah polisi hanya fokus untuk “mengurusi”pelaku. Ya kalau untuk menelisik tentang apa yang terjadi saat itu, bagaimana dulunya dia bisa menjadi seorang yang kejam seperti itu, berapa orang yang telah menjadi korban, itu masih wajar. Tetapi jika si pelaku dijadikan

Pelaku memang sudah sepantasnya dihukum dan “dipermalukan”di muka umum. Tetapi jangan lupa, sebagian dari mereka adalah korban juga sebelum mereka akhirnya menjadi “pembunuh” jiwa orang lain. Tetap utamakan penyembuhan jiwa dari pelaku dan korban terutama. Tak ada seorang pun di dunia ini yang menghendaki dirinya menjadi pelaku, apalagi sampai menjadi korban.

No comments:

Post a Comment