Translate

17 Jun 2013

Soe Hok-Gie part 1


Tidak seperti Mira Lesmana yang telah "mengenal" sosok Soe Hok Gie sejak dua puluh satu tahun yang lalu, saya baru mendengar namanya saja setelah film "Gie" diputar di bioskop nasional. Waktu itu, jujur saja, yang membuat saya begitu bersemangat menonton Gie ini karena aktor pemeran utamanya, Nicholas Saputra. Dan sampai sekarang, Nico, masih menjadi aktor pria favorit saya :)

Mungkin untuk sebagian mahasiswa Universitas Indonesia, nama Gie sudah tidak asing lagi karena di sanalah Gie menyelesaikan pendidikan S1-nya selama enam tahun. Tetapi saya yang notabene berkuliah di luar negeri, tidak pernah sekalipun dikenalkan dengan tokoh "pahlawan" mahasiswa ini.

Di awal-awal pemutaran film Gie ini saya masih belum terlalu penasaran dengan sosok Gie. Saya hanya tau bahwa dia seorang aktivis mahasiswa di tahun 60an yang meninggal di usia yang sangat muda, saat melakukan pendakian di Gunung Semeru pada akhir tahun 60an. Tidak banyak yang saya ketahui tentang karakter, aktivitas, serta tulisan-tulisan Gie. Belakangan saya baru mulai dibuat penasaran oleh seorang Gie, ketika saya membeli sebuah buku setebal kamus yang berjudul:
                                                                  
                                        Soe Hok-Gie.. sekali lagi
                               Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya

Lewat buku inilah, rasa penasaran saya pun mulai tumbuh. Sosok Gie yang tadinya hanya sepenggal sejarah di benak saya, seperti hidup lagi ke tengah-tengah generasi sekarang. Hal ini dikarenakan penulisan buku Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (BPCAB) ini begitu mudah dicerna dan dibuat sedemikian rupa sehingga tokoh Gie begitu relevan pada situasi sekarang.
Teman-teman semasa kuliah Gie, bahkan satu di antaranya adalah teman yang "mengantarkan" Gie ke peristirahatan terakhirnya di Semeru lah yang menulis BPCAB. Jadi bisa dibilang buku semi-biografi ini ditulis seakurat mungkin oleh para saksi hidup, yang dekat dengan Gie. Dengan segala keterbatasan daya ingat, mereka membicarakan lagi kejadian 40an tahun yang lalu ini. Buku ini menjadi semakin hidup dengan adanya kontribusi tulisan opini dari banyak tokoh baik yang telah mengenal Gie secara personal, secara sepintas ataupun yang lahir jauh hari setelah Gie wafat.

Tak banyak cerita di buku ini yang menjelaskan tentang masa kecil seorang Gie. Yang saya tahu dari sumber-sumber yang lain, Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia dibesarkan oleh sepasang suami istri keturunan Tionghoa. Ayahnya, Soe Lie Piet adalah seorang novelis sekaligus Wartawan Sunday Courrier dan Nio Hoei An dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga sederhana. Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara.

Berbeda dengan kebanyakan remaja saat itu ataupun masa kini, Gie memiliki kepekaan sosial yang cukup tinggi. Buku buku bermutu karya Mochtar lubis, George Orwell, Shakespeare dan lain lain telah mempengaruhinya untuk menjadi anak muda dengan rasa kemanusiaan, kejujuran, dan keberanian yang tinggi. 

Sosok pribadi Gie yang berani itu terlihat ketika ada keributan kecil antara Gie dengan guru Bahasa Indonesianya, Pak Effendi, tentang sebuah karya sastra. Hal ini bermula ketika gurunya ini salah menyebutkan jenis-jenis karangan. Kemudian berlanjut ketika Gie dan Pak Effendi berbantahan tentang sebuah prosa yang berjudul Pulanglah Dia si Anak Hilang. Menurut Gie, gurunya ini kurang pandai dalam hal sastra. Tetapi yang membuat Gie makin dongkol kepada Pak Effendy adalah ketika beliau merasa bahwa dirinyalah yang paling benar. "Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah," begitu sumpah serapahnya di catatan hariannya.

Ada satu slentingan Gie yang cukup menggelikan. Yaitu waktu dia menyebutkan salah satu nama teman perempuannya, dia berujar, "... anak baik, ramah, cantik, tapi sayang anak bodoh." Rupanya untuk Gie, yang saat itu belum genap berusia 16 tahun, perempuan pintar masih lebih menarik daripada yang berwajah rupawan. Cukup berbeda bukan pemikiran remaja laki-laki ini?

Kemudian ketika beranjak dewasa, Gie menjadi semakin kritis. Sisi humanisnya pun tampak di kisah berikut. Pernah suatu siang, dia bertemu dengan seseorang yang dia klaim di catatannya adalah bukan pengemis. Orang ini sedang memakan kulit mangga. Melihat ini, Gie pun memberikan seluruh uangnya, yang "hanya" tersisa Rp. 2,50. Gie sempat menuliskan pengalamannya ini di buku catatannya, sambil kemudian berbicara sinis, "Dua kilometer dari pemakan kulit (mangga), 'paduka' kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik. Aku bersamamu orang-orang malang."

Bagi sebagian besar orang yang belum pernah berjumpa dengan mendiang Gie dan hanya mengenalnya melalui tulisan-tulisan yang bernada keras, sosok Gie sering digambarkan sebagai laki-laki berbadan tegap dengan wajah garang. Namun tak begitu adanya. Ia berbadan kerempeng dan memiliki cara berjalan yang lucu.  

To Be Continued to "Soe Hok-Gie  part 2"

No comments:

Post a Comment