Tidak seperti Mira Lesmana yang telah "mengenal" sosok Soe Hok Gie sejak dua puluh satu tahun yang lalu, saya baru mendengar namanya saja setelah film "Gie" diputar di bioskop nasional. Waktu itu, jujur saja, yang membuat saya begitu bersemangat menonton Gie ini karena aktor pemeran utamanya, Nicholas Saputra. Dan sampai sekarang, Nico, masih menjadi aktor pria favorit saya :)
Mungkin untuk sebagian mahasiswa Universitas Indonesia, nama
Gie sudah tidak asing lagi karena di sanalah Gie menyelesaikan pendidikan
S1-nya selama enam tahun. Tetapi saya yang notabene berkuliah di luar negeri, tidak pernah sekalipun dikenalkan dengan tokoh "pahlawan" mahasiswa
ini.
Di awal-awal pemutaran film Gie ini saya masih belum terlalu
penasaran dengan sosok Gie. Saya
hanya tau bahwa dia seorang aktivis mahasiswa di tahun 60an yang meninggal di
usia yang sangat muda, saat melakukan pendakian di Gunung Semeru pada akhir
tahun 60an. Tidak
banyak yang saya ketahui tentang karakter, aktivitas, serta tulisan-tulisan
Gie. Belakangan saya baru
mulai dibuat penasaran oleh seorang Gie, ketika saya membeli sebuah buku
setebal kamus yang berjudul:
Soe
Hok-Gie.. sekali lagi
Buku,
Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Lewat buku inilah, rasa penasaran saya pun mulai tumbuh. Sosok Gie yang tadinya hanya sepenggal sejarah di benak saya, seperti hidup
lagi ke tengah-tengah generasi sekarang. Hal ini
dikarenakan penulisan buku Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (BPCAB) ini
begitu mudah dicerna dan dibuat sedemikian rupa sehingga tokoh Gie begitu
relevan pada situasi sekarang.
Teman-teman semasa kuliah Gie, bahkan satu di antaranya
adalah teman yang "mengantarkan" Gie ke peristirahatan terakhirnya di
Semeru lah yang menulis BPCAB. Jadi bisa dibilang buku semi-biografi ini
ditulis seakurat mungkin oleh para saksi hidup, yang dekat dengan Gie. Dengan segala
keterbatasan daya ingat, mereka membicarakan lagi kejadian 40an tahun yang lalu
ini. Buku ini menjadi semakin hidup dengan adanya kontribusi tulisan opini dari
banyak tokoh baik yang telah mengenal Gie secara personal, secara sepintas
ataupun yang lahir jauh hari setelah Gie wafat.
Tak banyak cerita di buku ini yang menjelaskan tentang masa
kecil seorang Gie. Yang saya tahu
dari sumber-sumber yang lain, Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia dibesarkan oleh sepasang suami istri
keturunan Tionghoa. Ayahnya, Soe Lie Piet adalah seorang novelis sekaligus
Wartawan Sunday Courrier dan Nio Hoei An dan ibunya adalah seorang ibu rumah
tangga sederhana. Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara.
Berbeda dengan kebanyakan remaja saat itu ataupun masa kini, Gie memiliki kepekaan sosial yang cukup tinggi. Buku buku bermutu karya Mochtar
lubis, George Orwell, Shakespeare dan lain lain telah mempengaruhinya untuk
menjadi anak muda dengan rasa kemanusiaan, kejujuran, dan keberanian yang
tinggi.
Sosok pribadi Gie yang berani itu terlihat ketika ada
keributan kecil antara Gie dengan guru Bahasa Indonesianya, Pak Effendi,
tentang sebuah karya sastra. Hal ini bermula ketika gurunya ini salah
menyebutkan jenis-jenis karangan. Kemudian berlanjut ketika Gie dan Pak Effendi
berbantahan tentang sebuah prosa yang berjudul Pulanglah Dia si Anak Hilang.
Menurut Gie, gurunya ini kurang pandai dalam hal sastra. Tetapi yang membuat
Gie makin dongkol kepada Pak Effendy adalah ketika beliau merasa bahwa
dirinyalah yang paling benar. "Guru yang tak tahan kritik boleh masuk
keranjang sampah," begitu sumpah serapahnya di catatan hariannya.
Ada satu slentingan Gie yang cukup menggelikan. Yaitu waktu
dia menyebutkan salah satu nama teman perempuannya, dia berujar, "... anak
baik, ramah, cantik, tapi sayang anak bodoh." Rupanya untuk Gie, yang saat itu
belum genap berusia 16 tahun, perempuan pintar masih lebih menarik daripada
yang berwajah rupawan. Cukup berbeda bukan pemikiran remaja laki-laki ini?
Kemudian ketika beranjak dewasa, Gie menjadi semakin kritis. Sisi humanisnya pun tampak di kisah berikut. Pernah suatu siang, dia bertemu
dengan seseorang yang dia klaim di catatannya adalah bukan pengemis. Orang ini
sedang memakan kulit mangga. Melihat ini, Gie pun memberikan seluruh uangnya, yang
"hanya" tersisa Rp. 2,50. Gie sempat menuliskan pengalamannya ini di
buku catatannya, sambil kemudian
berbicara sinis, "Dua kilometer dari pemakan kulit (mangga), 'paduka' kita
mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik. Aku bersamamu orang-orang malang."
Bagi sebagian besar orang yang belum pernah berjumpa dengan
mendiang Gie dan hanya mengenalnya melalui tulisan-tulisan yang bernada keras, sosok Gie sering digambarkan sebagai laki-laki berbadan tegap dengan wajah
garang. Namun tak begitu adanya. Ia berbadan kerempeng dan memiliki cara
berjalan yang lucu.
To Be Continued to "Soe Hok-Gie part 2"
No comments:
Post a Comment