Translate

25 Oct 2013

Becoming a Man of Value

Siang ini aku 'terpaksa' makan sendirian di salah satu restaurant fast food. Suami harus bekerja setengah hari dan kebetulan tidak ada makanan di rumah. Salah satu kenikmatan menghabiskan waktu sendirian di resto atau cafe adalah keleluasaan mengamati gerak-gerik orang-orang di sekelilingku. Sungguh menarik memperhatikan kehidupan nyata, yang tidak segemerlap sinetron tapi bisa memberikan inspirasi atau renungan.

Ada keluarga kecil yang sedang menikmati makan siangnya. Ada keluarga yang memiliki dua anak perempuan remaja, yang masing-masing anggotanya sibuk memperhatikan gadget di tangan masing-masing. Ada seorang ibu yang memiliki dua anak balita dan masing-masing anaknya harus diawasi oleh seorang babysitter. Ada pula seorang bapak setengah baya yang sedang menemani kedua anak remajanya menikmati ayam gorengnya.

Memang tak ada yang istimewa. Semuanya tampak normal saja. Tak ada drama, tak ada yang luar biasa. Tapi dari situ lah kadang inspirasi menulisku tiba-tiba muncul. Seperti hari ini, aku merasa ingin sekali menulis.

Ada satu kepedihan di hati setiap melihat satu keluarga muda, yang disibukkan dengan anak balitanya. Mungkin pasangan suami istri tersebut bisa jadi merasa tak nyaman dengan harus mendorong kereta bayinya keluar masuk pertokoan. Mungkin pula mereka harus mengorbankan kenikmatan menonton film di bioskop karena anaknya masih terlalu kecil untuk bisa mengerti jalan cerita sebuah film. Atau mungkin saja mereka harus menahan malu setiap kali anaknya menangis menjerit-jerit bila keinginannya tak terpenuhi. Segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Tetapi seluruh ketidaknyamanan, pengorbanan dan rasa malu itu tentu saja tidak sebanding dengan kebahagiaan mereka bermain dengan si kecil dan mengelus-elus kepalanya.
Bukannya aku tak bersyukur dengan keadaanku saat ini. Aku bahagia sekali memiliki seorang suami yang bisa dibilang tak ada cacatnya. Seorang suami yang, bukannya sombong, bisa jadi menantu idaman setiap orang tua. Tak pernah sekalipun aku mendengar dia menuntut ini itu dariku. Aku yang tak lihai memasak seperti ibunya. Aku yang mungkin punya adat keras. Aku yang belum mampu menghadirkan seorang keturunan pun untuknya. Di balik kekurangan-kekurangan itu tak pernah aku rasakan cinta suamiku berkurang. Rasanya aku dan suamiku bahagia sekali dengan apapun yang kami miliki sekarang ini. Kami sudah melalui empat tahun pertama pernikahan kami dengan banyak sekali proses penyesuaian. Ada hal-hal kecil maupun besar yang harus dikompromikan di dalam rumah tangga kami. Tak mudah awalnya, tapi puji Tuhan empat tahun yang diwarnai gelak tawa dan air mata, bisa kami lalui dengan sangat baik sekali. Bulan-bulan terakhir ini sepertinya kami sudah lebih matang, sudah lebih bisa bertoleransi. Sepertinya saat ini kami berdua benar-benar sudah merasakan ketentraman.

Aku selalu berpikir bahwa keadaan apapun yang saat ini sedang kami hadapi memang yang terbaik yang sudah dipersiapkanNya. Bila saat ini aku sudah memiliki seorang anak, mungkin aku tak akan memiliki waktu luang untuk berbagi bersama anak-anak kurang beruntung di PAUD Komunitas Menara. Mungkin juga aku dan suami memang belum siap untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak kami kelak. Masih banyak yang harus kami benahi sebagai pasangan suami istri. Kami yakin selalu ada alasan tepat kenapa keinginan kami belum Tuhan penuhi hingga kini. Selalu ada. Satu atau banyak alasan. Yang pasti alasan-alasan itu baik adanya. Mungkin aku harus ditempa untuk menjadi seorang ibu yang jauh lebih sabar dengan menghadapi anak didikku di PAUD.

Masih terbayang bagaimana terganggunya aku dulu bila ada anak kecil di dekatku. Apalagi kalau mereka sudah mulai rewel. Biasanya kalau sudah mendengar jeritan bocah di cafe tempat biasa aku menghabiskan malam Sabtu, headset HP lah yang pertama aku ambil dari tas. Hidup terasa jauh lebih menyenangkan dengan headset yang memutar berbagai macam musik,
daripada harus mendengarkan isak tangis anak kecil. I once claimed that kids were nothing but trouble.

Motivasi awalku bergabung dengan Komunitas Menara ini adalah untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Selama ini, aku merasa belum pernah memberikan hidupku untuk orang lain. Aku merasa ada kekosongan di dalam hidupku. Dulu aku pernah bekerja nine-to-five. Kerja kantoran. Tetapi aku seperti tidak mendapatkan sesuatu yang selama ini kucari. Kebebasanku terbelenggu. Kebebasan dalam berekspresi. Kebebasan dari kejenuhan akan rutinitas monoton. Hidup seperti robot. Lingkungan yang penuh intrik. Tak hanya itu saja. Aku merasakan kehampaan. Bangun tidur-mandi-berangkat ke kantor-bekerja-pulang-tidur. Hanya itu saja yang kurasakan. Tak ada cerita-cerita unik yang menarik untuk diceritakan kembali
malam harinya. Ada yang kurang sepertinya. Aku ingin menjadi manusia yang "bernilai". 

“Try not to become a man of success. Rather become a man of value.”
Seperti itulah yang dikatakan Albert Einstein.

Kesuksesan mungkin identik dengan materi. Bisa juga diidentikkan dengan jabatan ataupun gelar pendidikan. Tapi bukan itu yang aku impikan. Aku ingin sekali mendapatkan kepuasan yang lain. Sesuatu yang lebih bermakna. Dengan berbagi di PAUD Komunitas Menara, ada perasaan puas di dalam diriku. Melihat anak-anak yang kurang beruntung bisa tersenyum saat bermain dengan teman-teman sebayanya, mendengar mereka fasih menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris, apalagi melihat anak-anak sudah mulai bisa menuliskan huruf dan angka, itu sudah merupakan suatu kepuasan tak ternilai. Bergaul di lingkungan yang jauh berbeda dari lingkungan tempatku dibesarkan juga merupakan suatu pengalaman berharga. Aku jadi banyak belajar dan lebih bersyukur lagi. Kenapa tadi kukatakan belajar? Aku jadi tahu sekarang bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang tua murid, khususnya yang memiliki, maaf, taraf pendidikan yang kurang. Aku juga jadi lebih memahami bagaimana caranya mengajar anak usia 5-6 tahun dengan lebih efisien.

Jadi sebenarnya alasan pertamaku bergabung di PAUD ini adalah bukan karena ketertarikanku dengan dunia anak kecil. Tetapi karena keinginanku yang kuat untuk menjadi seseorang yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang banyak. Aku ingin sekali merubah kehidupan anak-anak yang kurang beruntung itu menjadi sedikit lebih baik. Tak disangka setelah delapan bulan mengajar,
aku merasakan keterikatan yang kuat dengan murid-muridku. Ada sensasi menyenangkan setiap kali aku merasa metode pengajaran yang aku gunakan berhasil. Misalnya ketika ada dua muridku yang belum bisa membedakan warna, terutama warna hijau dan biru, aku selalu menanyakan warna-warna itu setiap kali mereka masuk kelas. Awalnya aku memperkenalkan warna dengan menanyai warna baju yang mereka pakai hari itu. Kemudian setiap mereka bermain dengan puzzle, lego atau apapun itu, aku tak akan lupa bertanya tentang warna-warna di gambar atau benda tersebut. Tak usah dibuat terlalu serius. Bertanyalah sambil lalu. Buktinya dalam waktu dua minggu setelah sesi tanya-jawab warna dimulai, mereka pun mulai bisa membedakan warna hijau dan biru. Aku percaya, apapun itu bila dilakukan secara konsisten, pasti akan ada hasilnya. Aku juga selalu merasa bahagia bila ada murid-muridku yang tadinya memiliki keterbatasan dalam menulis angka atau huruf, tiba-tiba sudah mulai bisa mengenali angka atau huruf dengan baik.
 
Sungguh, itu adalah pencapaian yang tak terbayangkan sebelumnya.

No comments:

Post a Comment