Translate

9 Apr 2015

Berguru Pada Anak-Anak



Tahun ini adalah tahun ketiga saya mencoba mengembangkan sayap di dunia pendidikan dengan menjadi pendidik di sebuah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) tak berbayar. Saya memang tak punya latar belakang pendidikan guru sama sekali. Saya bahkan tak pernah menaruh perhatian khusus pada anak-anak kecil sebelumnya.

Yah, sesuatu yang saya anggap hanya iseng awalnya, ternyata malah memberikan makna dalam hidup saya. Banyak sekali pelajaran yang saya dapat setelah menerjuni dunia anak-anak. Bisa dibilang hidup saya tak lagi sama. Merekalah yang mewarnai kehidupan saya yang tadinya seperti datar-datar saja ini. Bagaimana tidak. Setiap hari ada saja tingkah laku, kata-kata ataupun cerita yang membuat saya senang, sedih, kesal atau terharu. Bagi saya, merekalah guru terbaik.

Hal pertama yang saya dapatkan dari mereka adalah: KESABARAN. Saya bisa dibilang galak dan mudah terpancing emosi. Di saat awal-awal saya mengajar, sepertinya Tuhan sudah mengatur semua hal dengan sangat rapi. Saat itu Ibu Guru yang sudah lebih dari dua tahun mengajar di kelas A (kelas permulaan di PAUD kami), tiba-tiba mengundurkan diri di saat tahun ajaran baru berjalan 1 bulan. Saya yang waktu itu baru menjadi guru relawan, selama 10 bulan “ditodong” tawaran dari Pak Kepala Sekolah untuk menjadi guru tetap. Mau tak mau saya pun menyanggupinya. Tak mungkin anak-anak itu belajar tanpa didampingi satu gurupun. 
Bayangkan bagaimana susahnya menghadapi anak-anak berumur 5 tahun yang biasanya bermain secara bebas, tanpa aturan di rumah, kemudian harus dihadapkan dengan banyak peraturan di sekolah barunya. Tentu saja sangat menguji iman. Apalagi sekolah tempat saya mengajar itu adalah sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu, yang tentu saja tinggal di lingkungan yang sedikit, maaf, liar. Suatu waktu ada anak yang merasa tak nyaman di kelas, kemudian tiba-tiba memanjat pintu kelas dan membuka slotnya keluar begitu saja dari kelas dan berlari pulang. Ada juga yang tiba-tiba memukuli temannya. Saya yang memang belum terbiasa menghadapi anak-anak pun seketika terperanjat sambil berteriak kaget. Tentu saja ucapan yang keluar dari mulut saya pun bernada tinggi. Sungguh tak nyaman setiap kali dihadapkan dengan tingkah laku ‘’unik” mereka.

Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, saya sudah semakin bisa mengendalikan emosi. Saya yang tadinya dengan cepat bereaksi bila ada anak yang berperilaku kurang baik. Berbicara dengan nada tinggi atau menghampiri si anak  dan mengangkatnya supaya kembali duduk ke tempatnya semula adalah hal-hal yang dulu hampir selalu saya lakukan ketika kepala sudah mulai pening menghadapi tingkah polah anak-anak yang susah diatur. Apalagi di awal-awal saya mengajar, tak ada guru lain yang mendampingi saya karena waktu itu saya diangkat menjadi guru tetap setelah ibu kepala sekolah mengundurkan diri.

Perubahan kedua yang terjadi pada diri saya adalah saya jadi lebih menjaga sikap dalam bertutur kata dan bertingkah laku, baik ketika sedang bersama murid-murid di sekolah, maupun saat saya membuat postingan di Facebook atau di media sosial lainnya. Saya merasa seakan-akan ada yang mengawasi setiap gerak-gerik saya. Bagus sih. Saya seperti memiliki kontrol atas apa yang akan saya lakukan atau ucapkan.

Seperti sebuah pepatah Jawa. “Guru kuwi digugu lan ditiru.” Bila kita ingin anak-anak menghabiskan makanan yang disediakan di sekolah, maka kita sebagai pendidik harus pula menghabiskan makanan kita, meskipun kita tak terlalu menyukainya. Bila kita ingin anak-anak menulis dengan rapi, maka kita juga musti membiasakan diri untuk menulis rapi. Bila kita menginginkan anak-anak menjadi seseorang yang baik di kemudian hari, jadilah orang tua atau pendidik yang baik. 

Anak-anak tak akan belajar dari apapun yang orangtuanya atau pendidiknya ajarkan, tetapi mereka akan bertingkah laku dan berucap seperti apa yang mereka lihat orangtua atau pendidiknya lakukan.

 











No comments:

Post a Comment